Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nuklir Korea, Indonesia, dan ASEAN

Kompas.com - 19/02/2013, 02:40 WIB

Oleh Makmur Keliat

Uji coba senjata nuklir Korea Utara yang ketiga pada 12 Februari lalu telah mendapat reaksi internasional yang sangat keras. Dewan Keamanan PBB melaksanakan pertemuannya segera setelah uji coba ledakan itu dilakukan.

Diperkirakan, DK PBB akan segera mengeluarkan resolusi keempat yang bunyinya akan jauh lebih keras daripada resolusi sebelumnya. Namun, apakah resolusi ini akan efektif memaksa Korea Utara menghentikan upayanya untuk menjadi negara nuklir masih menjadi tanda tanya besar.

Kecaman dan dialog

Walau secara geografis bukan bagian dari lingkaran utama konsentris strategis Asia Tenggara, dinamika keamanan di jazirah Korea telah mendapat perhatian besar Indonesia. Segera setelah uji coba senjata nuklir itu, Kementerian Luar Negeri Indonesia mengeluarkan kecaman. Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa menyarankan perlunya mengaktifkan kembali Pertemuan Enam Pihak (PEP) —beranggotakan Korea Selatan, Korea Utara, AS, Jepang, China, dan Rusia—sebagai mekanisme dialog untuk menghindarkan kemungkinan uji coba nuklir itu mengarah pada instabilitas kawasan. Dialog lain yang ditawarkan Indonesia adalah mendayagunakan mekanisme ASEAN Regional Forum (ARF).

Tanggapan diplomatik berupa pernyataan kecaman dan saran akan mekanisme dialog ini bukanlah sesuatu yang baru. Ia mengikuti pola diplomasi tradisional yang telah diperlihatkan Indonesia dan ASEAN terhadap situasi di Korea pada masa lalu. Berulang kali Indonesia dan ASEAN menyatakan keprihatinannya terhadap krisis nuklir Korea Utara. Namun, seluruh pernyataan itu tetap tak mengu- bah niat kebijakan Korea Utara mengembangkan dirinya sebagai negara yang memiliki kemampu- an senjata nuklir. Karena itu, hampir bisa dipastikan pula tanggapan diplomatik Indonesia yang baru saja dikeluarkan memiliki keterbatasan untuk menjadi instrumen efektif yang memengaruhi kebijakan nuklir Korea Utara.

Namun, mengecam respons diplomatik Indonesia dan ASEAN sebagai suatu instrumen diplomatik yang sama sekali tak efektif atau sia-sia adalah berlebihan. Ada beberapa alasan untuk menyatakan bahwa penekanan pada mekanisme dialog melalui PEP atau ARF merupakan pilihan strategis paling rasional bagi Indonesia.

Pertama, mekanisme dialog merupakan bagian dari prinsip normatif yang tengah dikembangkan Indonesia bersama dengan ASEAN, terutama melalui Treaty of Amity and Cooperation (TAC). Salah satu pesan normatif yang disampaikan TAC adalah tidak menggunakan instrumen kekerasan ataupun ancaman penggunaan kekerasan dalam penyelesaian konflik antarnegara.

Karena itu, sikap Indonesia dan ASEAN dapat dipahami. Tanggapan Indonesia dan ASEAN merupakan bagian dari upaya pembangunan norma dari TAC ini untuk tidak hanya berlaku bagi kawasan Asia Tenggara, tetapi juga untuk diperluas hingga ke luar kawasan Timur Jauh.

Kedua, isu nuklir Korea Utara merupakan isu high politics yang melibatkan aktor negara besar. Keanggotaan AS, China, Jepang, dan Rusia dalam mekanisme PEP itu sendiri telah menggambarkan esensi dari high politics tersebut. Karena itu, usulan untuk mengaktifkan PEP merefleksikan adanya kesadaran tentang kapasitas daya tawar Indonesia dan ASEAN yang terbatas.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com