Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tentukan Pilihanmu
0 hari menuju
Pemilu 2024
Kompas.com - 14/02/2013, 07:27 WIB
EditorEgidius Patnistik

Ilo mengatakan, selalu ada sesuatu yang baru dan mengejutkan dalam gereja-gereja Afrika pada hari Minggu, yang mencerminkan inovasi tak terduga dan keterbukaan keyakinan dan praktik agama orang Afrika terhadap kerja Roh Kudus. "Kekatolikan Afrika membuai!" begitu Ilo mengutip kesaksian seorang warga kulit putih Kanada tentang fenomena Gereja Katolik Afrika.

Bahwa ada penurunan menakutkan dalam panggilan imamat dan kehidupan religius di Amerika Utara dan Eropa, panggilan religius justru sedang booming di Afrika dan para klerus asal Afrika kini tersebar di seluruh Eropa. Mereka membantu dalam mengevangelisasi kembali keturunan para misionaris Barat yang membawa ajaran Kristen ke Afrika.

"Kekatolikan juga merupakan sebuah pengaruh budaya yang kuat dalam pencarian terus-menurus Afrika menjawab tantangan kemiskinan, penyakit, konflik etnis dan agama, perang, masalah politik dan ekonomi, fundamentalisme radikal, dan bagaimana mengurangi dampak perubahan iklim dan bencana alam. Gereja-gereja di Afrika sedang menjadi modal sosial yang kuat yang nilai-nilainya terletak tidak hanya dalam memberikan dukungan spiritual, tetapi juga dalam memperkuat masyarakat sipil, menciptakan jaringan kesehatan di kalangan masyarakat, dan menguatkan lembaga-lembaga Afrika untuk menjaga keamanan dasar manusia bagi pembangunan integral dan berkelanjutan," tulis Ilo.

Paus Benediktus XVI mengakui pergeseran ini. Pada November 2011, Paus Benediktus XVI berada di Contonou, Benin, untuk memperkenalkan Nasihat post-Apostolik, Africae Munus, yang berisi peta jalan dari Sinode Kedua Afrika untuk masa depan kekristenan Afrika. Paus Benediktus, antara lain, mengatakan bahwa Afrika telah menjadi paru-paru spiritual yang akan membangkitkan gereja-gereja yang tidur di Barat dan bahwa Afrika juga harus menjadi pusat pembaruan pemikiran, filsafat, dan teologi Katolik.

Paus Benediktus melihat kekatolikan Afrika dan umat Katolik Afrika sebagai tempat yang baik untuk memimpin kekristenan ke masa depan. Terpilihnya seorang paus dari Afrika tidak diragukan akan menguatkan posisi Afrika sebagai pusat baru kekatolikan dan kekristenan di dunia.

Namun, menurut Ilo, sejumlah pertanyaan mendasar adalah, apakah Gereja Katolik siap untuk menerima seorang paus kulit hitam? Akankah gereja, yang mendefinisikan dirinya universal, siap dengan konsekuensi penuh dari identitasnya dan memberikan ruang bagi sebuah realitas baru yang dapat membantu dalam menyambung kembali gereja dengan gerakan sejarah yang tampaknya telah diabikan pada masa kepausan Paus Benediktus?

Akankah Gereja Katolik menerima rasa atau merek Afrika dari kekatolikan dan akankah seorang paus dari Afrika lebih menjadi orang Roma ketimbang Afrika? Apakah seorang paus dari Afrika lebih baik dalam mengatasi tantangan yang dihadapi Afrika saat ini serta memberikan energi baru dan pembaharuan terhadap gereja yang sedang lelah di Barat?

Namun, menurut Ilo, siapa pun yang akan menjadi paus berikutnya, orang Afrika atau non-Afrika, harus memandang dirinya sebagai seorang paus bagi dunia. Dia tidak harus menjadi tawanan Vatikan atau pemikiran abad pertengahan yang Eropa sentris dari Gereja Katolik Roma atau ortodoksi. Selain itu, ia tidak harus menjadi budak bagi sejumlah struktur dan ajaran usang Gereja Katolik.

Sebaliknya, menurut Ilo, paus baru harus pergi ke ujung bumi dan menjangkau semua orang, terutama orang Katolik yang kecewa dan marjinal— perempuan yang bercerai dan pasangan suami-istri Katolik yang berpisah, kaum gay dan lesbian, korban pelecehan seksual para klerus, dan orang-orang yang merasa terasing dari gereja terkait sejumlah ajaran moral dan spiritual gereja yang tegas.

"Batas-batas diskursus etika dan doktrin sedang bergeser secara radikal. Ini harus menjadi tugas paus baru membantu untuk menjadikan Gereja Katolik sebuah komunitas iman bagi orang-orang dari beragam kalangan, sebuah gereja yang merangkul perubahan sosial dan budaya sebagai teman, dan mendorong melalui hukum dan praktiknya tentang keutamaan perbedaan," tulis Ilo

Dengan cara ini, Gereja Katolik akan menjadi benar-benar sebuah keluarga Allah. Orang kulit hitam dan kulit putih, para kudus dan pendosa, pria dan wanita, kaum liberal dan konservatif, kaya dan miskin, gay dan hetero, semua diperlakukan sebagai anak-anak Allah yang sama, tanpa memperhatikan pangkat atau status.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+


    27th

    Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

    Syarat & Ketentuan
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
    Laporkan Komentar
    Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Verifikasi akun KG Media ID
    Verifikasi akun KG Media ID

    Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

    Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

    Lengkapi Profil
    Lengkapi Profil

    Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

    Bagikan artikel ini melalui
    Oke