Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Provokasi Korut Tanpa Sanksi

Kompas.com - 13/02/2013, 03:04 WIB

RENÉ L PATTIRADJAWANE

Mengapa Korea Utara selalu mengabaikan sanksi internasional terhadap uji coba rudal sampai ledakan nuklir bawah tanahnya? Jawabannya sederhana, tidak ada ahli strategi internasional yang bisa memperkirakan apa yang akan terjadi di Semenanjung Korea apabila retaliasi dibalas retaliasi.

Bertahun-tahun, dunia internasional berusaha keras menghentikan program nuklir Korea Utara (Korut) yang mengancam perdamaian. Namun, upaya ini selalu gagal, tak ada kemajuan, bahkan Korut menggelar uji coba nuklir ketiga, Selasa (12/2). Program nuklir dan rudal balistik, baik atas nama perdamaian maupun bukan, kini jadi alat intimidasi efektif.

The Economist menyebut Korut akan berbohong, mengancam, dan memeras sebagai jalan menuju meja negosiasi dan keluar dari isolasi ekstrem yang diberlakukan terhadap dirinya.

Kim Jong Un, generasi ketiga penguasa keluarga Kim yang komunis, membuktikan persenjataan pemusnah massal adalah klaim warisan satu-satunya kakeknya, Kim Il Sung, untuk berpengaruh atas rakyat Korut yang menderita puluhan tahun.

Ulah Korut selalu ditentukan banyak faktor, salah satunya perubahan konstitusi pada April 2012 yang secara resmi menyatakan sebagai ”bangsa bersenjata nuklir”. Dengan logika ini, Kim Jong Un berhasil melakukan propaganda ekstensif keberhasilan Korut melalui peluncuran roket luar angkasa dan program senjata nuklir sekaligus memperkuat kedudukannya sebagai pemimpin baru Korut.

Dunia pun hanya bisa menggerutu, mengeluarkan beragam resolusi Dewan Keamanan PBB dalam menghadapi provokasi Korut.

Pada 1968, pasukan Korut menangkap kapal perang AS dan awaknya. Tahun 1976, dua tentara AS dibunuh dengan kapak di zona demiliterisasi, memicu reaksi AS menggelar operasi lanskap darat bersenjata terbesar dalam sejarah dunia ke wilayah itu. Namun, tak ada kelanjutan atas insiden itu.

Ini belum lagi upaya Korut melakukan pembunuhan atas presiden Korea Selatan (Korsel) sepanjang tahun 1960-an dan 1970-an. Tahun 1974, istri Presiden Park Chung-hee tewas ketika agen Korut dikirim untuk membunuh Presiden Korsel tersebut. Tahun 1983, tim pembunuh Korut memasang bom di Rangoon, Burma, ketika itu, menyebabkan tewasnya beberapa menteri dan pejabat tinggi Korsel.

Tahun 1987, Korut kembali beraksi ketika agennya memasang bom di pesawat terbang sipil, menewaskan 115 penumpang. Dan paling akhir, Korut menembakkan torpedo ke kapal Korsel, Cheonan, dan membombardir Pulau Yeonpyeong pada tahun 2010. Semua provokasi ini tidak mendapat reaksi memadai dari Komando Pasukan Gabungan AS-Korsel, menyisakan persoalan kritis Semenanjung Korea.

Semua pihak yang terlibat di Semenanjung Korea, mulai China, Korsel, Jepang, AS, hingga Rusia, mengetahui retaliasi dalam bentuk konflik perang konvensional menjadi terlalu mahal.

Celakanya, kampanye dunia tentang dunia yang bebas senjata nuklir terlalu lemah. Korut tahu itu, demikian juga Iran dan negara-negara lain yang memiliki persenjataan nuklir.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com