KOMPAS.com — Namanya yang populer adalah Kardinal Joseph Ratzinger. Ia seorang teolog terkemuka yang disegani. Kardinal Ratzinger adalah pembantu dekat Paus Johanes Paulus II dan dikenal sebagai orang yang konservatif. Dalam struktur pemerintahan takhta suci, ia menjabat sebagai Ketua Kongregasi Ajaran Iman.
Ketika ia terpilih sebagai paus dalam konklaf atau sidang pemilihan paus di Kapel Sistina, Basilika Santo Petrus, Vatikan, Selasa (19/4/2005), tidak banyak yang terkejut. Tidak seperti pendahulunya, Johanes Paulus II, yang sebelum terpilih tidak dikenal orang, Kardinal Ratzinger begitu terkenal.
Menjelang berlangsungnya konklaf, nama Kardinal Ratzinger sudah disebut-sebut sebagai calon kuat paus baru. Ada anekdot seputar konklaf, mereka yang masuk sebagai paus akan keluar sebagai kardinal. Artinya, mereka yang disebut-sebut sebagai calon kuat acap kali tidak terpilih.
Dalam sejarah Gereja Katolik Roma, selalu sulit untuk menerka siapakah paus baru yang akan muncul sebagai hasil konklaf. Namun, saat itu sejarah telah memilih jalannya sendiri. Ratzinger yang masuk sebagai "paus" keluar dan muncul di balkon Basilika Santo Petrus sebagai paus.
Kardinal Ratzinger adalah orang kepercayaan Paus Johanes Paulus II. Lebih dari sekadar orang kepercayaan, ia kerap disebut sebagai arsitek kebijakan Gereja Katolik Roma menyangkut doktrin ajaran iman. Tidak berlebihan, sebab sejak tahun 1981, dalam struktur takhta suci, ia adalah Kepala Kongregasi Ajaran Iman, sebuah lembaga yang memiliki kewenangan dalam menentukan kesesuaian sesuatu dengan ajaran iman Katolik.
Tidak kenal kompromi
Sikapnya keras. Tidak kenal kompromi terhadap mereka yang memiliki pandangan berbeda dengan kebijakan Gereja. Ia adalah orang yang berada di belakang sikap keras Vatikan terhadap teologi pembebasan, pluralisme religius, dan pandangan-pandangan baru yang dianggap bertentangan dengan ajaran moral tradisional seperti masalah homoseksual dan imam (pastor) wanita.
Pada tahun 1986, ia mengukuhkan ketegasan sikap Gereja Katolik yang menentang homoseksualitas dan pernikahan sesama jenis. Dalam sebuah dokumen yang dikeluarkan tahun 2004, Kardinal Ratzinger mengingatkan dengan keras bahwa feminisme radikal adalah ideologi yang menggerogoti keluarga dan mengaburkan perbedaan wanita dan laki-laki.
Tentang teologi pembebasan yang muncul pada paruh kedua abad ke-20, pandangan teologis Ratzinger, yang waktu itu belum menempati posisi di Vatikan, tidak bisa disangkal sangat memengaruhi sikap Vatikan. Dari balik tembok kampusnya di Jerman, ia menyerukan, ajaran teologi yang tumbuh dan dikembangkan oleh sejumlah pastor dan teolog Amerika Latin ini bertentangan dengan ajaran dan nilai-nilai Gereja Katolik.
Teologi pembebasan yang memfokuskan ajarannya pada hak asasi manusia dan keadilan sosial mengombinasikan teologi Kristen dengan aktivisme politik. Sebagian ajaran itu memang sesuai dengan ajaran sosial Gereja. Namun, Vatikan menolaknya karena keberatan dengan ajaran yang menggabungkan teologi dengan gagasan kaum Marxis seperti soal pertentangan kelas.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.