Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tarian Anti-Kekerasan Perempuan di Hari Kasih Sayang

Kompas.com - 10/02/2013, 05:49 WIB
Lariza Oky Adisty

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Tanggal 14 Februari telah identik dengan Hari Kasih Sayang atau Valentine's Day, yang kerap diasosiasikan dengan warna merah muda, bunga mawar serta cokelat. Tak sedikit yang percaya bahwa Valentine's Day merupakan hari yang tepat untuk menyatakan perasaan cinta pada orang yang kita cintai, walau banyak juga yang memandang skeptis hari ini sebagai strategi marketing untuk menaikkan penjualan cokelat atau kartu ucapan.

Mungkin belum banyak yang tahu bahwa sejumlah pihak memanfaatkan momentum Valentine's Day untuk menari. Bukan hanya untuk sekadar bersenang-senang menyambut Valentine's Day, melainkan untuk menyerukan kepedulian terhadap kekerasan yang menimpa perempuan.

Gerakan bernama One Billio Rising ini digagas oleh penulis drama teater Vagina Monologues Eve Ensler pada tahun 1998 dan telah merambah ke banyak negara, termasuk—pada tahun ini—Indonesia. Menurut Dhyta Caturani sebagai salah satu penggagas One Billion Rising di Indonesia, gerakan ini akan diadakan di Monumen Nasional, Jakarta Pusat pada hari Kamis (14/2/2013).

"Saat ini partisipan gerakan One Billion Rising sudah mengadakan latihan di daerah Kalibata, Jakarta Selatan. Siapapun boleh ikut," kata Dhyta saat ditemui Kompas.com di Kemang, Jakarta Selatan, Sabtu (9/2/2013).

Selain di Jakarta, gerakan ini pun ternyata merambah ke daerah-daerah lain seperti Bandung, Yogjakarta, Denpasar, bahkan hingga ke Poso. Dhyta menjelaskan bahwa ia mendapat ide agar Indonesia turut menjadi partisipan One Billion Rising setelah membaca mengenai One Billion Rising di situs resmi gerakan tersebut.

"Saya pikir gerakan ini pas sekali untuk di Indonesia, karena kasus-kasus kekerasan semakin hari semakin naik beritanya," jelas Dhyta.

Perempuan yang telah malang-melintang di dunia aktivis sejak lama ini menilai, selain jumlah kasus yang memang mengalami kenaikan, perhatian media massa terhadap kasus kekerasan yang menimpa perempuan juga semakin meningkat.

"Selain itu banyak perempuan yang menjadi korban juga semakin berani untuk bicara. Jadi saya pikir ini momen yang bagus untuk Indonesia agar terlibat," kata Dhyta.

Sebab, ia pribadi mengaku sudah gerah akan kasus-kasus kekerasan yang menimpa perempuan. Ia pun kemudian berinisiatif mengumpulkan teman-teman sesama aktivis yang bergerak di isu perempuan dan mendirikan One Billion Rising (OBR Indonesia), serta teman-teman non-aktivis yang memiliki perhatian mengenai masalah perempuan.

Ia berharap, dengan adanya gerakan One Billion Rising, gaung mengenai kekerasan terhadap perempuan bisa lebih terdengar terutama ketika diucapkan oleh satu miliar orang di seluruh dunia termasuk di Indonesia.

"Kita memang tidak mungkin membuat perubahan hanya dengan menari dalam satu hari. Tapi paling tidak ada satu kesadaran, isu kekerasan terhadap perempuan naik, semua orang mendengar dan bisa terlibat untuk menghentikan kekerasan," jelasnya.

Di sisi lain, Dhyta menilai bahwa penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia masih sangat buruk. Salah satunya adalah aturan dalam KUHP yaitu Pasal 285 mengenai Pemerkosaan. Menurut Dhyta, definisi pemerkosaan dalam pasal tersebut belum mencakup marital rape (pemerkosaan dalam rumah tangga).

"Pasal tersebut hanya menyebutkan pemaksaan terhadap perempuan untuk bersetubuh di luar pernikahan. Marital rape tidak ter-cover dan tidak terproteksi di KUHP," ujarnya.

Ia juga menyoroti sulitnya mekanisme yang harus dilalui perempuan korban kekerasan saat melaporkan kasusnya ke pihak berwajib. Contohnya adalah diharuskannya perempuan yang menjadi korban pemerkosaan untuk menjalani visum.

"Padahal perempuan yang menjadi korban pemerkosaan merasa amat kotor dan ingin membersihkan diri dan karena itu visum jadi sulit didapat. Tinjauan psikologis terhadap korban tidak menjadi dasar dalam proses visum tersebut," kata Dhyta.

Belum lagi korban yang membuat laporan pemerkosaan malah cenderung menjadi pelecehan verbal saat melaporkan kasus yang menimpanya. Setali tiga uang ialah sikap masyarakat yang masih terjebak stigma sehingga cenderung menyalahkan perempuan yang menjadi korban pemerkosaan.

"Padahal korban adalah korban, dan yang semestinya mendapat hukuman serta sanksi adalah pelakunya," kata Dhyta.

Meskipun tujuan One Billion Rising adalah menyerukan kesadaran mengenai kekerasan pada perempuan, gerakan ini tidak melulu didominasi oleh kaum hawa. Andi Gunawan atau yang akrab dipanggil Ndigun adalah salah satu dari beberapa pria yang ikut terjun dalam gerakan One Billion Rising di Indonesia.

Menurut pria yang bekerja sebagai tim produksi di salah satu televisi swasta ini, pengalaman memiliki teman perempuan yang menjadi korban kasus kekerasan memang mempengaruhi keputusannya untuk mengikuti gerakan One Billion Rising. "Tapi menurut saya pribadi sebenarnya tidak diperlukan alasan khusus untuk bisa ikut berpartisipasi," kata Ndigun.

Ia mengakui bahwa dirinya kerap merasa miris melihat perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual justru diposisikan sebagai pihak yang bersalah. Ia menilai bahwa perlawanan terhadap kekerasan seksual pada perempuan bukanlah dengan menyorot bagaimana seorang perempuan harus berpenampilan, melainkan menentang perspektif yang menempatkan perempuan sebagai sebuah objek.

"Perempuan dan laki-laki itu manusia yang harusnya berdiri sejajar. Dan sebetulnya kan ini bukan perkara jenis kelamin. Baik ya baik, jahat ya jahat. Kualitas seseorang tidak ditentukan dari jenis kelaminnya," kata Ndigun lagi.

Sebagai orang yang bekerja di industri media, ia juga menilai bahwa dalam pemberitaan kekerasan terhadap perempuan juga mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap perempuan yang menjadi korban.

"Seharusnya kan yang harusnya diberitakan adalah kenapa bisa terjadi, atau bagaimana kronologi kejadian tersebut bukan terjadi. Tapi selama ini yang saya lihat di beberapa media justru menyorot ke siapa korban ini, latar belakangnya apa, sehingga memojokkan si perempuan. Padahal harusnya fokus diarahkan ke pelaku kejahatan terhadap perempuan," jelas Ndigun.

Sebelum melangkah ke acara tari massal (flash-mob) di Monas Kamis depan, One Billion Rising Indonesia telah mengadakan pre-event berbentuk pemutaran film Children of Srikandi, sebuah film dokumenter produksi Indonesia yang menyoroti kehidupan komunitas perempuan marginal di Indonesia, serta Gulabi Gang, film dokumenter produksi India yang memfokuskan pada gerakan sekelompok perempuan di India dalam melawan kekerasan terhadap kaum perempuan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com