Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mali, Petualangan Perancis Paling Berisiko

Kompas.com - 22/01/2013, 19:53 WIB

PARIS, KOMPAS.com - Saat dunia memusuhi Libya, Perancis tampil paling depan membantu pemberontak. Dan kini, lebih dari 2.000 prajuritnya tengah bertempur melawan pemberontak Islam di Mali.

Namun, sejumlah analis mengatakan, kembalinya Perancis sebagai pemain utama di panggung internasional nampaknya lebih banyak mengundang risiko ketimbang pujian.

Dulu, Perancis dikenal sebagai salah satu negara kolonial terbesar di dunia. Koloninya tersebar mulai benua Amerika, Afrika dan Asia. Sayangnya, seperti halnya negara kolonial lainnya, Inggris, pengaruh Perancis kini memudah di balik Amerika Serikat.

Perancis memang menentang invasi AS ke Irak pada 2003 -sebuah langkah yang memicu kemarahan di antara banyak politisi AS- namun, Perancis juga mendukung AS di Perang Teluk I 1991 dan di Afganistan.

Saat rakyat Libya mengangkat senjata untuk melawan Moammar Khadafi pada 2011, dengan cepat Perancis menjadi pendukung utama pemberontak dan mengirim pesawat tempur untuk menghentikan laju pasukan pemerintah yang hampir menghabisi pasukan pemberontak.

Keterlibatan Perancis di Libya, kemudian disusul intervensi militer NATO yang menyediakan dukungan serangan udara sehingga pasukan pemberontak mampu menggulingkan Khadafi hanya dalam beberapa bulan saja.

Keputusan cepat juga dilakukan pemerintah Perancis di bawah pimpinan Francois Hollande. Pemimpin beraliran sosialis ini dengan cepat menyetujui pengiriman militer untuk membantu angkatan darat Mali yang kewalahan menghadapi pemberontak.

Keputusan Hollande itu diambil sehari setelah pasukan pemberontak militan yang terkait Al-Qaeda, yang sudah menguasai wilayah utara, bergerak untuk merebut wilayah selatan Mali.

Baik intervensi di Libya maupun Mali, Perancis mendapatkan pujian dari dunia internasional. Namun, sejumlah analis politik khawatir keterlibatan Perancis di Mali lebih berisiko, karena konflik di Mali berpotensi berlangsung dalam jangka panjang.

"Perancis berharap negara-negara Afrika dan Eropa ikut mengangkat senjata. Namun, negara-negara Eropa lain terlalu pengecut," kata Philippe Moreau-Defarges, peneliti lembaga riset IFRI di Paris.

Pasukan koalisi Afrika yang diharapkan membantu Mali bisa mencapai 6.000 personil dijadwalkan tiba di Bamako dalam waktu dekat. Sementara AS dan sejumlah negara Eropa menjanjikan bantuan berupa pesawat angkut dan bantuan logistik.

Sejauh ini, Perancis adalah satu-satunya negara Barat yang mengirimkan pasukan tempurnya ke Mali.

Berebut Pengaruh di Afrika

Keterlibatan Perancis di Mali juga bukan sekadar urusan melawan pemberontak Islam. Namun, juga untuk mengembalikan pengaruh Perancis di benua yang sebagian wilayahnya pernah menjadi jajahan Perancis itu.

Apalagi dalam beberapa tahun belakangan ini, pengaruh China baik dari sisi politik dan investasi berkembang pesat di Afrika.

"Afrika tengah melepaskan diri dari Perancis dan Perancis ingin tetap tampil di Afrika," papar Moreau-Defarges.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com