Surabaya, Kompas -
”Harapannya, identitas warga Surabaya supaya mudah dikenali. Kami ingin supaya warga Surabaya ini tidak kehilangan identitas di tengah globalisasi,” kata Baktiono, Kamis (17/1). Ia telah menggagas peraturan daerah itu sejak 2011.
Menurut dia, ide itu muncul saat menyadari beberapa suku lain di Indonesia memiliki marga atau nama yang khas. Misalnya, warga Bali dengan nama Ketut, Putu, Nyoman, atau Made.
Nama masyarakat Jawa, kata Baktiono, kurang memiliki kekhasan. Apalagi, saat ini nama-nama keluarga di Jawa sudah banyak dikombinasikan dengan nama asing.
Baktiono mengusulkan nama yang dapat diberikan sesuai dengan perda itu bisa diambil dari nama para pahlawan, tokoh besar, atau kawasan di Kota Surabaya. Namun, formula mengenai nama-nama yang dapat dipakai harus dibahas terlebih dahulu bersama tokoh, budayawan, dan akademisi di Surabaya supaya lebih tepat dan pantas.
Dalam perda itu, pemberian nama masih merupakan hak dari orangtua. Kendati demikian, orangtua wajib memilih dan membubuhkan nama-nama yang telah disepakati dalam perda tersebut. Perda ini tidak mengikat bagi warga luar Surabaya yang melahirkan anak di kota itu.
”Ide seperti itu tidak masuk akal, dangkal, dan berlebihan,” kata Akhudiat, budayawan asal Surabaya. Pemberian nama merupakan hak pribadi orangtua dan tidak dapat dicampuri orang lain apalagi pemerintah. Nama seorang anak juga merupakan doa dari orangtua.
Menurut Akhudiat, mempertahankan budaya daerah dengan mengatur nama anak terlalu