Ada banyak hal yang menjadi tuntutan para pengunjuk rasa, mulai dari pencabutan undang-undang antiteror yang diberlakukan pada 2005, pembebasan para tahanan politik dari kaum Sunni, penghentian praktik politik diskriminasi yang bersifat sektarianistik, hingga pemunduran dan pembubaran pemerintahan yang dinakhodai Perdana Menteri Nouri al-Maliki.
Kekuatan-kekuatan politik di Irak mendesak agar pemerintahan Nouri al-Maliki merespons cepat tuntutan para pengunjuk rasa. Jika tidak, bukan tidak mungkin gerakan protes yang marak terjadi di Irak dalam beberapa waktu terakhir akan berkembang menjadi awal dari musim semi di negara itu sebagaimana telah terjadi di sejumlah negara Arab, seperti Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah.
Dalam perkembangan terkini dilaporkan, Parlemen Irak menggelar pertemuan darurat untuk merespons tuntutan para pengunjuk rasa (aljazeera.net, 6/1/2012).
Pada tahap tertentu, apa yang terjadi di Irak dalam beberapa minggu terakhir dapat disebut sebagai penghakiman rakyat atas para elite, khususnya para elite yang menjadi bagian dari pemerintahan Nouri al-Maliki.
Hal ini terjadi karena para elite politik negeri yang kesohor dengan kisah 1001 malam itu kerap terjebak dalam konflik politik yang tak jarang berakhir di jalan buntu, khususnya antara kubu koalisi negara hukum (I’tilaf Daulatul Qanun) yang dipimpin Nouri al-Maliki dan kubu List Iraqiyah (Al-Qaimah al-Iraqiyah) pimpinan Iyad Allawi, yang juga mendapatkan dukungan dari kelompok Sunni.
Setidaknya ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya krisis politik di Irak saat ini. Pertama, kekuatan politik yang hampir berimbang. Pascaruntuhnya rezim Saddam Hussein dengan Partai Baats-nya, Irak menjadi negara Arab pertama yang merintis proses demokratisasi yang ditandai dengan munculnya kekuatan-kekuatan politik secara seimbang. Tidak ada lagi kekuatan politik yang dominan seperti kekuasaan Partai Baats pada era Saddam Hussein.
Hal ini tentu tidak terlepas dari peran Amerika Serikat yang menyerang dan menghancurkan negeri itu pada 2003.