Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Diplomasi Krisis Suriah

Kompas.com - 11/01/2013, 02:47 WIB

Darmansjah Djumala

Perang saudara yang merobek rakyat Suriah sudah berjalan lebih dari 20 bulan. Media Barat bahkan memperkirakan 40.000 nyawa telah melayang.

Dalam pertempuran di kawasan Deir Balbah, pinggiran kota Homs, tentara Suriah merangsek masuk ke kota, mengeksekusi tentara pemberontak di jalanan. Terbilang 397 orang meregang nyawa. Di tempat lain, bom yang diluncurkan dari jet tempur tentara Suriah menghunjam bumi Hilfaya, dekat kota Hama, merenggut belasan nyawa tak berdosa yang sedang mengantre pembagian roti. Hampir menginjak tahun ketiga, perang saudara di Suriah belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir.

Setidaknya ada dua alasan mengapa krisis di Suriah berlarut-larut. Pertama, tidak berhasilnya Dewan Keamanan PBB menerapkan zona larangan terbang seperti di Libya. Tanpa kebijakan larangan terbang, sulit bagi para pemberontak untuk memenangi peperangan, sementara loyalis Assad dengan leluasa menggempur pemberontak.

Kedua, dengan pasokan senjata dari luar ditambah dengan pasukan pembelot rezim Assad, pemberontak—meski lamban—dapat menguasai sebagian kota-kota penting, seperti Aleppo, Homs, dan Daraa. Gerak maju pasukan pemberontak memantik gempuran tentara Suriah lebih keras lagi. Adanya harapan untuk memenangi peperangan memaksa kedua pihak terus melakukan kekerasan militer yang menelan ribuan korban, tanpa upaya menyelesaikan konflik.

Namun, di tengah kecamuk perang, ada sedikit semburat harapan untuk mengakhiri krisis Suriah. PBB dan Liga Arab mengutus Lakhdar Brahimi untuk melakukan diplomasi ulang-alik (shuttle diplomacy) guna menjajaki perundingan menyelesaikan konflik. Misi Brahimi bukan tanpa halangan. Tantangan utama bagi Brahimi dalam menjalankan jurus diplomasinya adalah membujuk Assad untuk berunding dengan pemberontak yang tergabung dalam Koalisi Nasional Suriah.

Sesuai amanat Perjanjian Geneva, Juni 2012, untuk menyelesaikan krisis Suriah, diperlukan pembentukan badan transisi (pemerintahan peralihan) dengan kekuasaan eksekutif secara penuh. Pemerintahan peralihan ini beranggotakan unsur pemerintahan Assad dan oposisi.

Frasa ini mengisyaratkan perlunya perundingan antara pemerintah dan pemberontak karena keduanya akan bersama-sama menjadi anggota pemerintahan peralihan. Untuk menentukan komposisi anggota lembaga peralihan ini, kedua belah pihak harus duduk bersama, kemudian merundingkan masa depan Suriah. Pertanyaannya: apakah Assad mau berunding?

Pengakuan internasional

Setidaknya ada empat hal yang akan memengaruhi sikap Assad dalam memutuskan perlu tidaknya berunding dengan pemberontak. Pertama, kesediaan berunding pihak yang bertikai sangat bergantung pada struktur hubungan keduanya. Dalam konflik yang asimetris, ketidaksetaraan status politik kerap menjadi tembok penghalang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com