Sittwe, Kompas
Hal itu disampaikan Menteri Urusan Perbatasan Mayjen Thein Htay, Selasa (8/1), saat menjelaskan kondisi pengungsi kepada Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa, seperti dilaporkan wartawan
”Kami mohon Indonesia memahami, bantuan riil yang sangat dibutuhkan saat ini adalah pembangunan shelter,” ujar Htay.
Dalam kunjungan selama dua hari ke lokasi pengungsian di empat kota praja di Rakhine, yakni Kyauktauw, Maungdaw, Pauktaw, dan Sittwe, tampak 115.000 pengungsi berdesak-desakan di tenda serta gubuk darurat. Mereka adalah korban konflik berdarah antara warga Rohingya dan warga Arakan, penduduk asli Rakhine.
Htay menambahkan, Pemerintah Myanmar masih menemui kendala saat akan membangun shelter di lokasi tertentu. Mereka menghadapi resistensi warga yang keberatan jika di wilayah mereka dibangun tempat penampungan sementara warga Rohingya.
Di depan pejabat pemerintah pusat dan lokal Myanmar di kantor pemerintah Negara Bagian Rakhine, Selasa, Marty menawarkan asistensi dan konsultasi pengalaman Pemerintah Indonesia terkait proses registrasi kependudukan. Pemerintah Indonesia juga memberikan bantuan senilai satu juta dolar AS untuk digunakan membantu korban konflik.
Dalam kesempatan itu, Htay secara halus menolak tawaran asistensi registrasi kependudukan dan status kewarganegaraan Rohingya. Menurut Htay, status kewarganegaraan Rohingya masih harus dibahas dengan melibatkan seluruh warga negara Myanmar dan parlemen.
”Mohon dipahami, masalah itu perlu proses panjang dan harus melibatkan 60 juta rakyat Myanmar,” ujar Htay.
Menanggapi keengganan pihak Myanmar itu, Marty menyebut hal itu tidak menjadi masalah. Dia menilai saat ini sikap Pemerintah Myanmar sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan pada masa lalu.
”Sekarang paling tidak mereka menyatakan persoalan ini sebagai sesuatu yang harus dibahas di tingkat nasional. Kalau dahulu ada masalah seperti itu pasti langsung
Marty menambahkan, Indonesia setidaknya akan memberikan bantuan terkait tiga hal utama. Hal itu berupa bantuan kemanusiaan yang bersifat segera; menciptakan peluang ekonomi, seperti membuka peluang investasi di bidang perikanan; serta bantuan yang sifatnya untuk rekonsiliasi.
”Masalah rehabilitasi tidak hanya secara fisik, seperti membangun kembali permukiman korban. Namun, juga dalam konteks membangun kembali rasa saling percaya. Dari yang kami lihat di lapangan, kedua belah pihak sama-sama saling punya ketakutan dan prasangka buruk atas masing-masing,” ujar Marty.
Kerusuhan antara warga Rohingya dan penduduk Rakhine terjadi dua kali pada tahun lalu, yakni pada bulan Juni dan Oktober. Menurut data resmi Pemerintah Myanmar, pada kejadian pertama 77 orang tewas dan 199 orang terluka. Lebih dari 4.800 rumah, 17 masjid, dan 15 biara Buddha dirusak atau hangus terbakar.
Adapun pada insiden kedua dilaporkan korban tewas mencapai 84 orang dan 129 orang luka-luka. Sebanyak 2.950 rumah, 14 tempat ibadah, serta delapan lokasi penggilingan padi hancur dan tidak dapat digunakan lagi.