Dalam pidatonya, Senin (31/12), Jong Un bertekad memperbaiki kondisi perekonomian dan standar hidup rakyat Korut. Yang lebih mencengangkan, Jong Un juga melontarkan keinginan untuk mengakhiri konfrontasi Korea Utara dan Selatan.
Tradisi pidato akhir tahun telah lama ditinggalkan pada masa kepemimpinan mendiang ayah Jong Un, Kim Jong Il. Program politik Jong Il hanya dimuat di surat kabar. Pidato akhir tahun adalah kebiasaan kakek Jong Un, Kim Il Sung. Pendiri Korut itu terakhir kali membacakan pidato akhir tahun yang disiarkan televisi pada 19 tahun lalu.
”Mari kita bersama hadirkan titik balik perubahan radikal, membangun perekonomian raksasa, dengan semangat dan keberanian sama seperti ditunjukkan saat coba menguasai angkasa. Slogan seperti itu harus diusung partai dan rakyat tahun depan,” ujar Jong Un.
Tiga pekan lalu, Korut berhasil meluncurkan roket jarak jauh, Unha-3, memperbaiki kegagalan beberapa bulan sebelumnya. Keberhasilan itu membangkitkan kepercayaan diri dan pamor politik Jong Un di dalam negeri.
Jong Un juga berani merombak petinggi partai dan militer. Dia mengganti mereka dengan orang-orang yang jauh lebih moderat. Salah satunya, memberhentikan panglima angkatan bersenjata Ri Yong Ho, orang kepercayaan ayahnya, dan juga mengangkat sejumlah pejabat moderat, termasuk sang paman, Jang Song Thaek.
Dalam pidatonya, Jong Un menyerukan penyatuan kembali kedua Korea. Konfrontasi, menurut dia, harus dihentikan karena pada masa lalu hal itu terbukti hanya membawa kedua negeri ke dalam peperangan.
John Delury, analis Universitas Yonsei Seoul, menyebut pentingnya dukungan Korsel terhadap niat Jong Un yang ingin mengubah fokus kebijakan negerinya dari ”mengutamakan militer” menjadi perekonomian.
Hal ini sejalan dengan program yang didengungkan presiden baru Korsel, Park Geun-hye. Perempuan pertama yang menjadi Presiden Korsel itu dalam kampanyenya berulang kali mengungkapkan akan membuka kembali dialog dengan Korut.