Rakyat tidak bersalah terus dibunuh, diculik, atau dibantai dengan bom atau roket setiap hari. Suriah telah berubah menjadi neraka bagi rakyatnya. Meski demikian, kekuatan besar dunia terus berdebat dan berpolemik saat situasi kemanusiaan terus memburuk di Suriah.
Kekerasan mematikan terjadi setiap hari. Korban terbanyak adalah rakyat sipil. Contohnya, dalam sehari 108 orang, termasuk belasan anak-anak, dibantai di Houla, Mei lalu. Pada November, 10 anak Damaskus yang tengah bermain tewas terkena bom dari jet tempur rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Bulan paling mematikan di Suriah pada tahun 2012 adalah Agustus, yakni lebih dari 5.000 orang tewas. Tahun 2012 menjadi tahun paling mematikan sejak konflik ini dimulai, dengan lebih dari 35.000 orang tewas.
Perang yang berkecamuk selain merusak infrastruktur juga membawa bencana kemanusiaan yang meluas. Selain puluhan ribu orang tewas, satu lembaga pegiat hak asasi manusia (HAM) di Amerika Serikat menambahkan, lebih dari 28.000 orang hilang diculik. Belum diketahui pasti, apakah mereka masih hidup atau telah dieksekusi.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga memperingatkan telah terjadi eskalasi situasi kemanusiaan di Suriah dan terjadi peningkatan jumlah pengungsi ke luar dari negara itu. Warga di dalam Suriah yang kini membutuhkan bantuan kemanusiaan sekitar 2,5 juta orang dan akan meningkat menjadi 4 juta orang pada awal 2013.
Mereka tidak saja kehilangan tempat tinggal, pekerjaan, sekolah, dan kesempatan kerja, tetapi juga harapan untuk hidup sehari-hari dan gangguan psikologis. Warga kesulitan mendapatkan kebutuhan dasar sekadar untuk bertahan hidup, seperti makanan dan air minum.
Direktur Operasi Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) John Ging mengatakan, jumlah warga Suriah yang mengungsi ke negara-negara tetangga akan meningkat dari 400.000 orang saat ini menjadi 700.000 orang awal tahun depan.
Setelah 21 bulan teror dan Suriah menjadi ”kuburan massal”, Dewan HAM PBB (UNHRC) mengeluarkan laporan terbaru, akhir pekan lalu. Perang saudara di Suriah dilaporkan telah bergeser menjadi konflik sektarian yang tegas dan tajam. Kekerasan senjata, termasuk eksekusi ilegal, dilakukan baik oleh pasukan rezim Assad maupun pasukan oposisi.
Assad melihat kelompok oposisi sebagai kelompok ”pemberontak” dan ” teroris” yang harus dibasmi.
Sebaliknya oposisi, mewakili mayoritas rakyat Suriah, melihat Assad seorang tiran, diktator, dan mesin pembunuh. ”Assad telah membunuh semua orang. Dia membunuh sepupu saya. Dia menghancurkan desa saya. Dia menghancurkan rumah saya,” kata Soukrot Amin (23), sukarelawan Tentara Pembebasan Suriah (FSA).
Pasukan oposisi menjadi semakin kuat setelah ratusan tentara Suriah membelot dan bergabung dengan mereka. Tahun 2012 adalah tahun pembelotan terbesar tentara rezim Assad. Pada Juli lalu, puluhan jenderal bergabung dengan oposisi.
Konflik semakin ruwet karena pejuang asing masuk. Konflik pun mengarah ke pertikaian antarkelompok atau aliran keagamaan dan cenderung radikal. Para aktivis HAM menyebutkan, konflik di Suriah sudah semakin sektarian, yakni antara kelompok mayoritas Sunni melawan rezim Assad dari minoritas Alawite, sekte sempalan Syiah.
Menurut laporan UNHRC, banyak pejuang asing yang terlibat konflik di Suriah punya hubungan dengan kelompok-kelompok ekstremis Sunni dari negara tetangga. Mereka beroperasi di unit-unit independen yang mengoordinasikan aksinya dengan FSA, payung pasukan militer oposisi. Aliran senjata melalui jalur ilegal pun meningkat.
Misi prodemokrasi yang pada awalnya diusung oposisi pun diganti kepentingan kelompok, golongan, atau faksi. Muncul pula friksi di kalangan oposisi. Mayoritas oposisi yang bergabung dalam wadah Koalisi Nasional (NC) Suriah menginginkan negara demokrasi dan sekuler, sementara dua faksi oposisi garis keras menghendaki negara berbasis hukum syariah.
Perang saudara di Suriah pun telah mengganggu keamanan kawasan regional, termasuk negara-negara tetangganya, seperti Lebanon, Turki, dan Jordania. Turki sampai harus meminta dukungan aliansi Pertahanan Atlantik Utara agar mengizinkan penyebaran rudal-rudal Patriot untuk menangkis kemungkinan serangan roket dan rudal Suriah.
Tidak saja melimpahkan persoalan kemanusiaan, seperti masalah pengungsi ke negara tetangga, Assad juga ”unjuk kekuatan” teknologi senjata. Frustrasi karena oposisi yang semakin kuat, dia dilaporkan mulai menggunakan rudal balistik dan dicurigai sedang menyiapkan senjata kimia untuk membasmi oposisi.
Sikap dunia internasional terbelah dalam menghadapi krisis di Suriah sama seperti saat menghadapi krisis di Libya tahun lalu. Walau demikian, tindakan terhadap Libya jauh lebih cepat dan tegas dibandingkan terhadap Suriah. Komunitas internasional saat ini seolah tidak mampu meredam krisis kemanusiaan di Suriah.
Krisis di Suriah memperlihatkan intervensi berbagai kepentingan pragmatis yang tumpang tindih. AS dan sekutu-sekutunya di Barat ditambah negara-negara Arab dan mayoritas masyarakat internasional di satu sisi menghendaki Assad harus turun untuk mengakhiri krisis. Di sisi lain ada Rusia, China, dan Iran yang masih setia mendukung Assad.
Bekas utusan khusus PBB dan Liga Arab untuk Suriah, Kofi Annan, berkata, dunia telah