Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menunggu Hari Pembebasan Satinah

Kompas.com - 19/12/2012, 05:06 WIB

Satinah (40), tenaga kerja Indonesia asal Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, yang terancam hukuman mati, sebenarnya tak ingin bekerja lagi di luar negeri. Saat pergi ke Arab Saudi pada 2007, Satinah sebenarnya ingin mengumpulkan uang untuk membangun rumah tinggalnya bersama anak semata wayangnya. Tak disangka, ia malah terancam hukuman pancung karena tuduhan membunuh majikannya.

Kisah kepergian Satinah itu diceritakan Sulastri (36), kakak ipar Satinah, pekan lalu, di kediamannya di Desa Kalisidi, Kecamatan Ungaran Barat. Sejak kepergian Satinah, Nur Afriana (18), anak Satinah, tinggal bersama Sulastri dan suaminya, Paeri (42). Nur sudah dianggap seperti anaknya sendiri, sama seperti tiga anak Sulastri lainnya.

”Satinah pekerja keras. Sepanjang hidupnya, ia selalu bekerja dan bekerja. Pertama kali jadi TKI tahun 2004, Satinah tidak ada masalah. Kebetulan, waktu itu, ia dapat majikan yang baik. Ketika berangkat untuk yang kedua kalinya sebenarnya keluarga melarangnya, tetapi dia berkeras,” kata Sulastri.

Suami Satinah, Nasruri, sejak tahun 2002 meninggalkannya. Karena itu, ia harus kerja keras untuk menghidupi anaknya 0 yang kelas III SMA.

Namun, ternyata kepergiannya untuk kedua kali ke Arab Saudi bukannya membawa uang untuk membangun rumah, melainkan membawa masalah hukum. Satinah ditahan di Arab Saudi sejak tahun 2008 karena tuduhan membunuh istri majikannya, Nura Al Garib, dan mencuri uang 37.970 riyal atau sekitar Rp 97 juta. Karena itu, ia diancam hukuman pancung.

Keluarga Satinah yang mendapat kabar kasusnya segera melapor ke Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dan meminta bantuan hukum. Pemerintah kemudian melakukan negosiasi dengan keluarga majikan Satinah. Hasilnya, keluarga majikan Satinah bersedia memaafkannya asalkan membayar diyat atau uang pengganti sebesar 7 juta riyal atau setara Rp 17,5 miliar. Batas waktunya adalah Jumat (14/12) lalu.

Hingga batas waktu pembayaran diyat, pemerintah masih belum membayar dan malah mencoba menawar uang pengganti. ”Kami takut seperti kasus Ruyati yang dihukum mati tanpa adanya pembelaan negara. Kami tak ingin itu terjadi lagi pada Satinah,” kata Sulastri.

Keluarga Satinah seperti berbagi tugas. Paeri dan Afriana berada di Arab Saudi sejak Kamis (6/12) lalu untuk menjenguk Satinah. Keberangkatan mereka difasilitasi Kemlu. Sulastri dan keluarga besar Satinah di kampung terus mendukung dalam doa.

Pemerintah lamban

Pemerintah pusat, menurut Kepala Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI Jawa Tengah AB Rachman, masih terus mengupayakan pengunduran waktu pembayaran diyat. ”Keluarga majikan Satinah sudah memaafkan dan saat ini tinggal pembayaran diyat-nya saja,” katanya. Negosiasi antara Satuan Tugas TKI dan perwakilan RI di Arab Saudi hingga kini masih terus berlangsung.

Sementara itu, Direktur Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia Fatkhurozi menilai langkah pemerintah sangat lamban. Batas waktu pembayaran diyat sudah lewat dan seharusnya kesepakatan bersama sudah ada.

”Pemerintah selama ini tidak transparan. Jika ada kemajuan atau ada hambatan diplomasi, hal itu hendaknya disampaikan kepada keluarga dan publik. Sebab, ini terkait nyawa warga negara,” kata Fatkhurozi.

Soal diplomasi antarnegara, bagi keluarga Satinah, itu menjadi urusan pemerintah. Bagi mereka, yang penting, Satinah dapat pulang ke Tanah Air dengan selamat.

”Kami tidak punya uang sampai miliaran rupiah. Suami saya hanya pedagang rosok (barang bekas) dan saya hanya jualan keripik. Yang dapat kami lakukan hanya terus berdoa,” tambah Sulastri.

Harapan itu kini membubung tinggi. Seandainya Satinah bisa pulang dengan selamat, keluarga tidak akan mengizinkannya kembali menjadi TKI di luar negeri.

Saat terakhir Satinah menelepon keluarganya beberapa waktu lalu, ia hanya bisa pasrah. Namun, kepasrahan Satinah dan keluarganya tentu bukan berarti negara lantas mengabaikan keselamatannya.

Jika Pemerintah Indonesia dapat membebaskan warga negara asing dari jeratan hukuman mati, Satinah pun seharusnya juga bisa diperjuangkan kebebasannya.

(Amanda Putri Nugrahanti)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com