Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lalat dari Rafah dan Ikan dari Gaza City

Kompas.com - 09/12/2012, 15:18 WIB

Trias Kuncahyono dan Musthafa Abd Rahman,

KOMPAS.comBrrrrrrrrr... puluhan lalat itu berebut beterbangan ke sana kemari begitu pintu mobil Mercedes—yang menurut Human Ada Abu Jaser (30), pengemudinya—keluaran tahun 1980 itu dibuka. Jok warna coklat yang di sana-sini ditambal itu kelihatan kusam. Karpet karet belepotan lumpur. Di jok depan tergeletak sweater merah dan kemoceng dari rafia berwarna kuning-hijau. Dasboarnya dilapisi semacam bulu-bulu kehitaman yang berdebu. Di kaca spion depan tergantung pengharum, tetapi mungkin sudah hilang bau harumnya. Bau dalam mobil? Apek.

Begitu melemparkan pantat ke jok dan menarik pintu, Human Ada nyeletuk, ”Banting pintu keras-keras agar tertutup.”Dan, brakkkkkk, pintu pun dibanting. Belum lagi kami duduk secara sempurna, Human sudah menginjak gas dalam-dalam dan mobil pun bergerak cepat, ke luar halaman parkir Kantor Imigrasi Rafah, Jalur Gaza. ”Seperti inilah taksi di Gaza,” katanya tanpa kami tanya.

Mobil baru berjalan sekitar 200 meter, hujan turun deras. ”Alhamdulillah,” kata Human. Buru-buru kami menutup kaca pintu mobil, tetapi beratnya minta ampun, apalagi pemutarnya patah. Air hujan pun masuk ke mobil yang terus melaju kencang.

Tiba-tiba, Human menyodorkan hendel pintu sambil mengatakan, alat ini akan membantu menaikkan kaca. Tetap saja tidak rapat. Apa boleh buat, air hujan masuk ke dalam mobil.

Human—yang mengaku memiliki lima anak, dua orang sudah meninggal—lantas bercerita tentang Gaza. Ia khas lelaki Palestina, yang mengemudikan mobil sambil bercerita lantang dan menoleh ke belakang. Saat bercerita, kedua tangannya kerap melepaskan kemudi dan bergerak-gerak.

Ia tiba-tiba menelepon tanpa memperlambat jalan mobil. Seusai menelepon, dia menyalakan rokok. Mobil terus melaju, menerjang genangan air di jalan. Tiba-tiba Human membelokkan mobil masuk ke halaman sebuah rumah sakit. ”Hai, ini mau ke mana,” teriak kami.

”Ini rumah sakit Eropa karena pembangunannya dibiayai oleh negara-negara Eropa,” kata Human, yang lalu memutar mobilnya dan keluar dari kompleks rumah sakit.

Ia kembali memacu mobilnya menyusuri Jalan Saladin yang membawa kami ke Gaza City. Jalan berlubang sana-sini, tergenang air. Namun, hal itu tidak membuat Human melambatkan laju mobil.

”Itu mobil tangki membawa gas dari Israel. Kami tergantung pada pasokan gas dari Israel. Nah, yang itu truk kontainer mengangkut keramik, juga dari Israel. Semua dari Israel. Kami bermusuhan, tetapi urusan ekonomi jalan terus,” katanya lalu tertawa lepas.

Kondisi jalan ke Gaza City tidak jauh berbeda dengan empat tahun lalu, ketika kami melewati jalan itu untuk meliput perang, Desember 2008-Januari 2009. Ada yang lebar, ada yang tiba-tiba menyempit, bergelombang, dan hancur.

Rumah di kiri-kanan jalan juga tak jauh berbeda. Masih ada beberapa bangunan yang ambruk, yang di masa perang dulu dibom pesawat tempur Israel. ”Kalau rumah itu digempur Israel dalam perang terakhir, dua minggu lalu,” kata Human yang tiba-tiba berhenti di depan sebuah bangunan yang runtuh.

Tahrir

Setelah 60 menit menyusuri Jalan Saladin dari Rafah, kami tiba di Gaza City. Lalat dari Rafah ikut sampai ke Gaza City. Wajah Gaza City tidak banyak berubah dibandingkan dengan empat tahun lalu. Memang banyak bangunan yang dulu dibom Israel sudah dibangun lagi.

Masjid Al-Sifa di depan Rumah Sakit Sifa, misalnya, dulu ambruk rata dengan tanah, sekarang sudah berdiri megah kembali. Kondisi di depan rumah sakit masih sama. Ada pom bensin, warung makan, dan penjual gorengan.

”Ya, Gaza City memang tidak banyak berubah,” tutur Tahrir (22), mahasiswi tahun keempat jurusan Matematika dari Universitas Al-Ashar di Gaza City. Kami bertemu Tahrir, perempuan berkerudung merah jambu itu, di dalam taksi yang membawa kami dari warung internet di Jalan Omar Mochtar, salah satu jalan utama di Gaza City.

Tahrir sudah di dalam taksi ketika kami menyetop taksi itu untuk membawa kami kembali ke hotel. Memang demikianlah, naik taksi di Gaza City seperti naik angkot saja. Kalau sekiranya masih ada tempat duduk, sopir akan menghentikan taksinya bila ada yang menyetopnya di jalan. Jadi, penumpang taksi akan diajak putar-putar ke tujuan tiap penumpang.

”Kehidupan kami tetap susah,” kata Tahrir, yang dibenarkan Talaat (55), pengemudi taksi dengan mengangkat kedua tangannya.

Lalu apa komentar Tahrir dengan naiknya status Palestina di PBB? ”Pasti kami bahagia. Kami bangga. Pada akhirnya negara kami diakui begitu banyak anggota PBB. Namun, kami masih prihatin, mengapa sampai sekarang Fatah dan Hamas tidak bersatu. Hal itu membuat perjuangan kami menghadapi Israel tidak kuat,” kata Tahrir.

Soheh, soheh, soheh (benar, benar, benar),” komentar Talaat mendengar omongan Tahrir itu.

”Mereka, dua kelompok itu, berebut kekuasaan. Akibatnya, rakyatlah yang menderita. Semoga mereka cepat bersatu dan membangun negeri ini,” harap Tahrir.

”Anda berdua dari mana?” tanya Talaat. ”Indonesia? Saudara kami, selamat datang. Jangan pulang sebelum Sabtu, ada perayaan ulang tahun ke-25 Hamas. Semua pemimpin Hamas datang, termasuk Khaled Meshaal, Kepala Biro Politik Hamas yang lama tinggal di Suriah dan sekarang di Qatar juga akan datang,” ujar Talaat.

Jalan-jalan memang mulai dihiasi bendera warna merah dan hijau, ada yang berbentuk segitiga, ada yang empat persegi panjang, melintang di atas jalan. Kami juga bersua konvoi mobil, baik sedan maupun pikap, penuh anak-anak muda yang mengibarkan bendera Hamas warna hijau dan terus berteriak-teriak sambil memukul genderang.

Tiba-tiba Talaat memutar mobilnya dan berkata, ”Anda harus lihat lapangan tempat perayaan akan diselenggarakan.” Tanpa menunggu jawaban kami, mobil sudah meluncur ke sebuah lapangan yang letaknya tidak searah dengan jalan menuju hotel. Talaat sama dengan Human, ingin memuaskan penumpangnya dengan menunjukkan semua tempat yang menurut dia menarik bagi penumpangnya.

”Terima kasih Anda telah mendengarkan cerita saya,” kata Tahrir ketika kami turun di depan Hotel Palestina, yang terletak di pinggir Laut Tengah. Telaat tersenyum dan semula tidak mau menerima bayaran. ”Anda saudara kami,” katanya.

Gaza City selalu memberikan kejutan bagi kami setiap kali mengunjunginya. Kejutan itu termasuk lalat yang ikut kami dari Rafah sampai Gaza City, dan ikan buria serta faridi bakar yang kami nikmati di Restoran Moneer di Jalan Abu Hasiroh, malam harinya. Dua potong ikan itu harus kami bayar 90 shekel, ya kira-kira Rp 250.000.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com