Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Abbas Disambut bagai Pahlawan

Kompas.com - 03/12/2012, 05:45 WIB

RAMALLAH, KOMPAS.com - Lima ribu warga Ramallah, Tepi Barat, memadati lapangan dekat kantor presiden, Minggu (2/12). Mereka menyambut Presiden Mahmoud Abbas bagai pahlawan saat dia tiba setelah berhasil memperjuangkan status ”negara peninjau non-anggota” bagi Palestina dalam Sidang Majelis Umum PBB.

Massa melambaikan bendera Palestina dan menaikkan balon hitam, putih, hijau, dan merah sesuai warna bendera nasional. Mereka juga mengusung gambar Abbas di jalanan, sambil meneriakkan slogan yang mendukung sang presiden.

Di depan kerumunan massa, Abbas menegaskan, ”sekarang kita memiliki sebuah negara” dan ”dunia telah bersuara lantang, ya untuk negara Palestina”. Massa warga semakin histeris menyambutnya, mengacungkan tangan terkepal dan berteriak ”hidup Abbas, hidup rakyat Palestina”.

Keputusan PBB untuk mengakui Palestina sebagai ”negara peninjau non-anggota” merupakan tonggak sejarah baru dari perjuangan panjang sejak puluhan tahun silam. Rakyat Palestina percaya, dukungan yang kuat dari dunia internasional akan meningkatkan pengaruh mereka dalam pembicaraan damai dengan Israel di masa mendatang.

Sementara itu Israel, Minggu, kembali menolak tegas pengakuan implisit PBB atas kedaulatan negara Palestina. Menteri Keuangan Yuval Steinitz mengatakan, Israel takkan mentransfer 120 juta dollar AS dana hasil pajak kepada Palestina.

Bentuk perlawanan Israel terhadap keputusan Majelis Umum PBB itu juga dibuktikan dengan mengeluarkan kebijakan pembangunan permukiman baru. Kurang dari 48 jam setelah PBB mengakui Palestina sebagai ”negara peninjau non-anggota”, Israel memutuskan membangun lebih dari 3.000 rumah baru di wilayah yang diokupasi di Tepi Barat dan Jerusalem Timur.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan kampanye kenegaraan yang dipimpin Presiden Palestina Mahmoud Abbas sebagai pelanggaran berat perjanjian yang telah ditandatangani dengan Israel. ”Oleh karena itu, Pemerintah Israel menolak keputusan Majelis Umum PBB,” katanya.

Netanyahu di depan kabinetnya mengatakan, ”Hari ini kita membangun dan akan terus membangun di Jerusalem dan di semua wilayah yang ada di peta kepentingan strategis Israel.”

Setengah juta pemukim Israel saat ini tinggal di Tepi Barat dan Jerusalem Timur, hasil strategi jangka panjang yang bertujuan untuk mengaburkan batas antara Israel dan wilayah pendudukan.

Tender

Dalam dua bulan ini, Kementerian Perumahan Israel mengumumkan tender untuk lebih dari 2.000 rumah baru di Jerusalem Timur dan Tepi Barat, yang ”berada di luar perbatasan 1967”. Ini berarti semua tanah yang dicaplok Israel pada tahun 1967.

Israel menerbitkan izin baru untuk pembangunan 3.000 rumah baru di wilayah yang disebut E-1, yakni sebuah koridor yang membentang dari ujung timur Jerusalem Timur hingga permukiman Maaleh Adumim. Sama seperti terhadap kebijakan Israel terdahulu, Palestina selalu menentang rencana baru itu.

Kecaman keras terhadap ”perlawanan” Israel yang menerbitkan izin baru untuk pembangunan permukiman baru itu kini bermunculan. Setelah Inggris dan AS, sekutu utama Israel, negara lain pun ikut mengecam.

Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa (UE) Catherine Ashton, Minggu, mendesak Israel membatalkan rencana membangun 3.000 rumah di Tepi Barat dan Jerusalem Timur. Dia mengatakan, tindakan Israel tersebut menghambat perdamaian.

”UE berkali-kali menyatakan, semua bangunan permukiman tidak sah menurut hukum internasional dan menjadi hambatan perdamaian. Saya meminta Pemerintah Israel menunjukkan komitmen bagi dimulai kembali perundingan untuk mengakhiri konflik dan pendudukan dengan tidak melanjutkan rencana-rencana ini,” papar Ashton.

Ashton menegaskan, Sidang Majelis Umum PBB pada akhir pekan lalu telah menyetujui peningkatan status Palestina. Kedua pihak didesak memulai lagi perundingan langsung tanpa ditunda atau tanpa prasyarat serta melakukan tindakan yang bisa membangun kepercayaan dan tidak mengganggunya.

Jordania juga menyampaikan kecaman kepada Israel. Menteri Negara Urusan Media Jordania Samih Maaytah mengatakan, keputusan itu menyalahi hukum internasional.(AFP/AP/REUTERS/CAL)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com