Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Antara Yangon dan Jakarta

Kompas.com - 25/11/2012, 03:58 WIB

Aryo Wisanggeni G

Myanmar, negeri yang terasa asing oleh ketertutupan junta militer selama beberapa dekade, ternyata begitu dekat dengan keseharian Indonesia. Pameran 30 karya para maestro seni lukis modern Myanmar dan Indonesia membuktikan kedekatan itu.  

Senin (19/11) sore itu, kurator Galeri Nasional Indonesia Rizki A Zaelani, tergagap melihat 14 lukisan para maestro seni lukis Myanmar telah digantung di panel-panel penyekat ruang di aula National Museum Yangon. Bukan panel sederhana bercat putih dan kuning yang mengganggunya, juga bukan auditorium kaku yang disulap sekadarnya menjadi ruang pamer. 

”Bukan ini bentuk pameran yang saya inginkan. Sayang jika lukisan perupa Indonesia dan Myanmar ditata terpisah,” katanya berhati-hati mengajak bicara Direktur Museum Nasional Yangon Thaung Win dan Rektor National University of Arts and Culture Yangon U Kyaw Oo. ”Saya ingin penataan lukisan maestro Indonesia dan Myanmar disatukan, ditata bersebelahan sesuai tema.” 

Thaung Win dan U Kyaw Oo berdiskusi dalam bahasa Myanmar, dirubung oleh para staf museum yang tampak lelah usai menata karya. Rizki menyela lagi, meyakinkan mereka untuk menata ulang 30 lukisan karya para maestro Indonesia dan Myanmar. Perdebatan dalam bahasa Myanmar akhirnya diakhiri anggukan kepala, semua setuju menata ulang lukisan yang dipamerkan dalam ”Collective Remembrances – Nature, People, Culture Through Indonesia & Myanmar Artist” itu. 

Sekitar dua jam kemudian, saat baru tertata separuh, hasilnya nyata berbeda. Rizki misalnya, menata agar lukisan ”Kakak dan Adik” karya Mulyadi W disandingkan dengan lukisan ”The Girl” karya Ohn Kyaing, lukisan ”Asti” karya Sudibio, dan lukisan ”Water Lily and Beautiful Lady” karya Ohn Lwin, juga lukisan ”Wanita dan Bakul” karya Soedarso. 

Lukisan ”Pura Satria” S Sudjojono bersanding dengan ”Monastery” karya Ba Nyan. Sementara ”Pohon Nangka” Rustamadji bersebelahan dengan ”Yellow Bunch of Banana” Ngwe Gaing. ”Penataan seperti itu menonjolkan betapa banyak persamaan antara karya perupa Indonesia dan Myanmar,” kata Thaung Win mengakui.

Pengunjung pameran seperti Soe Pa Pa Myint pun terkesan dengan lukisan ”Togog Penghalau Burung” karya Affandi disandingkan dengan lukisan duel dua ayam jago dalam ”Fighter” karya Hla Aung. Teknik pelototan cat dan usapan jari Affandi bersanding dengan pelototan cat yang diiris pisau lukis Hla Aung

”Kedua pelukis sama-sama ekspresif, sekilas teknik melukis keduanya sama. Saya pernah melihat karya Affandi, namun kali ini saya melihatnya secara berbeda. Kedalaman ekspresi Affandi hadir dalam lukisannya, begitu lepas dan berani. Hla Aung menghadirkan teknik yang terampil,” ujar Myint yang mengunjungi pembukaan pameran, Selasa (20/11). 

Napas modernisme

Para perupa Myanmar dan Indonesia boleh dibilang tak terhubungkan satu sama lain, dan perkembangan seni lukis modern Myanmar dan Indonesia pun boleh dikata tak bertautan. Semua berjalan sendiri-sendiri, relatif saling terpisah. 

Karya para maestro dilukis pada masa perkembangan seni rupa modern di Myanmar dan Indonesia. Lukisan terdahulu adalah ”Monastery” karya Ba Nyan yang dilukis 1941, dan yang terbaru adalah lukisan I Wayan Bendi, ”Nelayan Menangkap Ikan” yang dilukis 1992. Karya lain adalah karya Batara Lubis, Dullah, Kartono Yudhokusumo, Nashar, Otto Djaja, Sumitro, Soedarso, Srihadi Soedarsono, U Thong Han, San Win, Nan Waii, Paw Oo Thet, dan Ba Kyi. 

Selain menghadirkan lukisan bertema perempuan, pameran yang berlangsung hingga 30 November itu juga menghadirkan lukisan tentang alam, kehidupan sehari-hari masyarakat, juga tradisi dan budaya yang melingkupi masing-masing perupanya. Tema penanda berakhirnya tema lukisan tradisional Asia yang didominasi tema dongeng, tokoh, dan raja. 

Rektor National University of Arts and Culture Yangon U Kyaw Oo menyebut bagaimana pengaruh perkembangan seni rupa Eropa jadi hulu tautan perkembangan seni rupa Indonesia dan Myanmar. ”Para maestro Myanmar maupun Indonesia, baik melalui jalur pendidikan formal ataupun pergaulan mereka dengan para perupa dari Eropa, membawa pengaruh perkembangan seni rupa di masing-masing negara, sesuai dengan konteks sosial masing-masing negaranya,” kata U Kyaw Oo.

Kolonialisme Eropa di Asia Tenggara juga disebut Rizki sebagai pembawa napas modernisme dalam perkembangan seni rupa Indonesia maupun Myanmar, membawa tema-tema yang muncul dalam pameran maestro kedua negara itu. ”Seni rupa modern dirintis dari berkembangnya nilai humanisme masa renaisance di Eropa,” kata Rizki. 

Kepala Galeri Nasional Indonesia Tubagus Sukmana menyebutkan pameran karya maestro Indonesia di Yangon sebagai realisasi Deklarasi Beijing 2006 tentang kerja sama dan pertukaran program di antara galeri dan museum nasional di Asia. ”Karya para perupa Indonesia menjadi salah satu penanda penting dalam perkembangan seni rupa modern di Asia Tenggara,” kata Sukmana merujuk bagaimana para maestro seni rupa modern Indonesia meraih pengakuan (pasar) dunia seni internasional.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com