Untuk menyikapi masalah itu, Presiden Uganda Yuweri Museveni memediasi pertemuan antara Presiden RD Kongo Joseph Kabila dan Presiden Rwanda Paul Kagame di Kampala, Uganda.
”Keduanya bertemu empat mata selama dua jam, Selasa malam,” kata Menteri Luar Negeri Uganda Sam Kutesa, Rabu (21/11).
Tampaknya pertemuan berjalan alot sehingga dilanjutkan lagi hari Rabu. ”Museveni memediasi mereka dan mereka setuju membahas situasi yang terus memburuk itu,” kata Kutesa.
Sebelum bertemu lagi, Kagame dan Kabila secara terpisah bertemu Museveni. ”Setidaknya mereka bertemu dan berbicara,” kata Kutesa. ”Saya pikir semua akan baik,” tambahnya.
Belum diketahui inti dan kesepakatan pertemuan dua kepala negara yang bersitegang itu. Pertemuan itu terjadi setelah milisi bersenjata dari kelompok ”Gerakan 23 Maret” (M23), dari etnis Tutsi, menduduki Goma.
Etnis minoritas Tutsi dari kubu Kagame menjadi target genosida di Rwanda yang dilakukan tentara etnis Hutu pada tahun 1994, yang menewaskan hingga 800.000 orang.
Terkait pemberontakan terbaru di Goma, Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) menuding Rwanda mendukung M23. Kagame menolak tudingan itu dan berbalik menuding RD Kongo telah bersekutu dengan pemberontak Rwanda yang berlindung di RD Kongo timur.
Di wilayah timur ini milisi Hutu pada tahun 1996 menggunakan kamp pengungsi untuk menyerang Rwanda. Situasi di RD Kongo timur saat itu kacau, dan Rwanda diketahui ikut mendukung kekerasan yang menewaskan ratusan orang saat itu. Ketika kini milisi M23 memberontak, Rwanda pun dituding terlibat.
Isu bakal terjadi konflik sektarian antara etnis Tutsi dan Hutu membuat situasi kawasan makin tak menentu. Terutama setelah M23 mengambil alih Goma dari tentara pemerintah (FARDC) dan PBB (MONUSCO), warga Goma mengungsi untuk mencari tempat aman.
Agar situasi tidak memburuk, Uganda menyerukan perlu pertemuan luar biasa tingkat kepala negara di kawasan Afrika tengah, Sabtu pekan ini. Pertemuan digelar di bawah payung 11 anggota Konferensi Internasional Wilayah Danau Raya (ICGLR). Kutesa mengatakan, Kabila dan Kagame didesak hadir saat itu.
Milisi bersenjata M23 dibentuk pada awal April 2012 dengan dipelopori 300 personel FARDC yang membelot. Mereka sebelumnya adalah bekas tentara milisi Kongres Nasional untuk Pertahanan Rakyat (CNDP). Nama M23 itu mengacu pada tanggal 23 Maret 2009 saat CNDP menandatangani kesepakatan damai dengan pemerintah pusat dan menjadi partai politik. Tentara CNDP bergabung dengan FARDC hingga akhirnya membelot. Semuanya dari etnis Tutsi.
Setelah mereka menduduki Goma, milisi M23 bertekad menguasai seluruh wilayah RD Kongo. Juru bicara pemberontak, Kolonel Vianney Kazarama, mengatakan, M23 bertekad ”membebaskan” negara. Mereka lalu bergerak menuju Bukavu, ibu kota Provinsi Kivu Selatan. Sejak Selasa, jalan menuju selatan dipenuh milisi.
Tudingan bahwa M23 didukung Rwanda juga diduga oleh Uganda. Hal itu didasarkan pada banyak fakta, mulai dari jenis persenjataan hingga personel.
PBB sejak lama telah mencurigai Rwanda berada di balik layar untuk mendukung kelompok milisi etnis Tutsi. Dewan Keamanan PBB mengutuk aksi M23 dan menjatuhkan sanksi pada dua pemimpinnya.(AFP/REUTERS/AP/CAL)