Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Grasi Minus Garansi

Kompas.com - 16/11/2012, 02:04 WIB

Oleh Saldi Isra

Belum lagi berakhir perdebatan sekitar kontroversi grasi kepada Schapelle Corby, terpidana narkoba 20 tahun penjara warga negara Australia, masyarakat kembali terenyak menerima berita pemberian hak yang sama bagi terpidana mati perdagangan narkoba, Meirika Franola alias Ola. Meski baru terungkap, grasi kepada Ola lebih dulu diberikan dibandingkan dengan Corby.

Diberitakan, pemberian grasi kepada Ola terkuak ke permukaan setelah Badan Narkotika Nasional (BNN) Jawa Barat me- nangkap penyelundup sabu 775 gram, berinisial NA, dari India ke Indonesia melalui Bandara Husein Sastranegara, Bandung, Kamis (4/10). Dari hasil penyelidikan BNN, kuat dugaan, Ola otak di balik penyelundupan barang haram itu (Kompas, 6/11).

Dalam hitungan waktu sejak pemberian grasi (26/10/2011), dengan tertangkapnya NA yang hanya berjarak setahun lebih, Ola bermetamorfosis dari seorang kurir yang, menurut kalangan Istana, tak tahu apa- apa menjadi pengendali dari dalam tahanan. Oleh fakta itu, sampai berbusa pun mulut kalangan Istana menjelaskan bahwa grasi yang diberikan dilakukan dengan pertimbangan matang dan sangat selektif, tak mudah masyarakat menerimanya.

Pertimbangan MA

Sebagai hak konstitusional yang diberi- kan UUD 1945, grasi tak seutuhnya diten- tukan oleh presiden. Bersama dengan hak memberikan rehabilitasi, konstitusi meng- amanatkan bahwa dalam pemberian grasi, presiden memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (MA). Ketidakutuhan serupa juga berlaku dalam memberi amnesti dan abolisi yang, dalam Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945, hanya bisa dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan DPR.

Apabila dilacak dari UUD 1945, adanya syarat bahwa dalam pemberian grasi, presiden memperhatikan pertimbangan MA baru muncul sejak Perubahan Pertama UUD 1945 (1999). Sebelum perubahan itu, hak presiden memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi tak memerlukan pertimbangan dari lembaga negara lain. Dengan desain UUD 1945 setelah perubahan, pertimbangan MA menjadi hal penting yang harus diperhatikan presiden dalam memberikan grasi. Jika diletakkan dalam bingkai hubungan antarlembaga negara, kelirulah mengatakan bahwa pertimbangan MA tak mengikat presiden.

Sebagai sebuah pilihan yang dilakukan setelah putusan pengadilan memiliki kekuatan hukum tetap, pertimbangan MA dapat dikatakan menjadi sebuah kenisca- yaan. Bagaimanapun grasi adalah tindakan pengampunan yang diberikan presiden berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana. Karena implikasi yang mungkin muncul dari pemberian grasi, Pasal 4 Ayat (1) UU No 22/2002 tentang Grasi menyatakan: presiden berhak mengabulkan/menolak permohonan grasi yang diajukan terpidana setelah mendapat pertimbangan MA.

Dengan adanya frasa ”setelah mendapat pertimbangan MA”, pertimbangan itu menjadi syarat yang harus dipenuhi dalam memberikan grasi. Dalam konteks itu, ketika MA berpendapat bahwa permohon- an grasi yang diajukan Ola tidak memiliki cukup alasan untuk dikabulkan (Kompas, 13/10), mengapa presiden tetap memberi- kan grasi? Karena itu, tidaklah berlebihan kalau ada sejumlah pihak yang mengata- kan bahwa upaya meminta pertimbangan kepada MA hanya formalitas belaka. Bahkan, boleh jadi, Istana telah memiliki ”sikap” sebelum mengajukan pertimbangan kepada MA.

Sebagai kasus yang sejak tingkat pengadilan negeri sampai peninjauan kembali ditangani dalam lingkungan MA, dapat di- pastikan lembaga ini memiliki informasi yang lebih komprehensif dibandingkan dengan para pembantu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Karena itu, begitu presiden memilih sikap yang berbeda dengan MA, tak dapat dipersalahkan bila sejumlah pihak berpandangan kemungkinan mafia narkoba menyusup ke lingkungan Istana.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com