Keprihatinan itu dilontarkan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, Selasa (23/10), seusai menggelar pertemuan bilateral dengan Menlu Malaysia Dato’ Sri Anifah bin Haji Aman di Yogyakarta.
”Sejak awal kami sudah melihat persoalan ini akan banyak memicu tantangan dan juga bakal terjadi pasang surut. Sekarang tinggal pemerintahnya (Myanmar) apakah masih punya kemauan menuntaskan konflik horizontal itu. Intinya, masalah apa pun harus diselesaikan lewat dialog dan rekonsiliasi,” kata Marty.
Kerusuhan bernuansa sektarian kembali terjadi antara etnis minoritas Rohingya dan warga mayoritas Arakan (nama lain Rakhine) di kota Min Bya. Tiga orang dilaporkan tewas, terdiri atas seorang warga Arakan dan dua warga Rohingya, sementara 300 rumah penduduk di kawasan itu ludes terbakar.
Penjelasan resmi tentang insiden kerusuhan itu diumumkan pemerintah setempat, Selasa. Menurut Kepala Kejaksaan Rakhine Hla Thein, kerusuhan yang memakan korban jiwa itu terjadi sejak Minggu malam dan berlanjut hingga Selasa pagi di Desa Pandeinkone dan desa-desa sekitarnya.
Aparat kepolisian setempat mengakui gagal menghentikan kerusuhan yang meluas meski telah menetapkan jam malam. Akan tetapi, menurut juru bicara Pemerintah Rakhine, Myo That, jumlah aparat keamanan yang diterjunkan ke lokasi kerusuhan sudah mencukupi. Dia belum tahu pasti apakah jumlah korban tewas dan luka telah bertambah.
Pasca-kerusuhan bernuansa sektarian di Rakhine, Juni lalu, lebih dari 50.000 warga minoritas Rohingya dan 10.000 warga mayoritas Arakan di seluruh wilayah Rakhine terpaksa diungsikan.
Pemerintah Myanmar memang tidak pernah mengakui keberadaan warga Rohingya sebagai kelompok etnis yang diakui resmi di negara itu.
Mereka dianggap sebagai imigran ilegal, baik oleh pemerintah maupun warga mayoritas di Myanmar. Di ibu kota Rakhine, Sittwe, warga Rohingya tinggal di tempat-tempat kumuh yang dipagari kawat berduri dan dijaga ketat.
Akan tetapi, secara politik, warga Rohingya dilibatkan dalam pemilihan umum akhir tahun 2010, yang hasilnya membentuk Pemerintah Myanmar saat ini. Mereka bahkan punya perwakilan partai politik.
Sebagai warga negara yang tidak diinginkan, warga Rohingya sejak lama mengalami kekerasan dan pengusiran, yang berkali-kali dilakukan secara sistematis oleh Pemerintah Myanmar.
Ruang gerak, akses terhadap kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan hak asasi mereka pun juga sangat dibatasi.
Hingga saat ini, kedua belah pihak masih saling menyalahkan satu sama lain terkait kerusuhan berdarah yang kembali terjadi kali ini.
Terkait kerusuhan berdarah Juni lalu, Pemerintah Myanmar menolak upaya penyelidikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan membentuk komisi penyelidikan sendiri.
Pemerintah juga sempat menolak pembukaan kantor perwakilan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang hendak membantu warga Rohingya.
Menurut Chris Lewa, Ketua Arakan Project yang memperjuangkan hak-hak warga Rohingya, warga Myanmar hanya ingin kelompok minoritas itu pergi dari Myanmar.