Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pasang Surut Seorang Raja

Kompas.com - 16/10/2012, 05:22 WIB

Jenazah mendiang mantan Raja Kamboja, Norodom Sihanouk, yang meninggal di Beijing, China, pada usia 89 tahun, Senin (15/10), akan disemayamkan selama tiga bulan di Phnom Penh sebelum dikremasi dalam upacara kenegaraan, demikian pernyataan resmi Pemerintah Kamboja.

Sebagai pemimpin, sosok Sihanouk memang unik. Hidupnya sering dikaitkan dengan sosok negeri Kamboja, yang perjalanan sejarahnya penuh turbulensi. Begitu pula jejak langkah Sihanouk, yang diwarnai dengan langkah maju mundur, naik turun, dan pasang surut.

Sempat dituding (terutama oleh kaum muda di negerinya, yang tak terlalu mengenal dekat sepak terjangnya semasa ia memimpin dulu) sebagai salah satu sosok yang semestinya ikut bertanggung jawab saat negerinya mengalami tragedi: pembantaian massal oleh rezim Khmer Merah. Sekitar dua juta jiwa tewas oleh kekejian rezim saat negeri itu dipimpin rezim Maois ultraradikal pada 1975-1979. Pemerintahan Khmer Merah ketika itu membuat kota-kota Kamboja kosong serta rakyat kemudian memenuhi kamp-kamp kerja paksa.

Sihanouk, yang pernah menjalani status tahanan rumah di Istana Kerajaan saat Khmer Merah memerintah Kamboja, tetap dihormati oleh sebagian besar rakyatnya.

Setidaknya di dinding rumah orang-orang lama Kamboja, foto Sihanouk masih dipajang sebagai sosok mantan raja yang dihormati meskipun kini raja mereka adalah anak Sihanouk, Norodom Sihamoni. Dan pemerintahannya saat ini dipegang Perdana Menteri Hun Sen, sosok orang kuat Kamboja.

Sihanouk dituturkan sempat kehilangan lima dari 14 anaknya selama Khmer Merah memerintah Kamboja dengan tangan besi.

”Beliau menjadi pelaku sejarah pada masa kemerdekaan Kamboja pada 1950-an dan juga berperan dalam menjaga keutuhan Kamboja saat menghadapi permasalahan internal pada 1970-an,” kata Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dalam ucapan belasungkawanya yang disampaikan di Kantor Presiden di Jakarta, Senin.

Sihanouk, menurut Yudhoyono, dikenal sebagai sahabat pemimpin-pemimpin Indonesia terdahulu, baik semasa Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto memerintah.

”Beliau ikut memperkokoh hubungan bilateral Indonesia- Kamboja,” kata Yudhoyono.

Pasang surut Sihanouk

Terlahir pada 31 Oktober 1922, Sihanouk yang dimanjakan oleh masa kanak-kanak di bawah penjajahan Perancis di Indochina dimahkotai sebagai raja pertama Kamboja pada tahun 1941 saat ia masih berusia 19 tahun.

Meski mula-mula diremehkan oleh penjajahnya, pada 1953 Perancis pun didepak keluar dari Kamboja saat Sihanouk menjadi raja. Dua tahun setelah kemerdekaan 17 April 1953, Sihanouk pun turun takhta pada tahun 1955 untuk memberikan kursi kerajaannya kepada sang ayah, Norodom Suramarit.

Sejak tahun 1955 itu, Sihanouk pun mengejar karier politiknya sebagai pemimpin partai politik dan enam kali naik turun sebagai Perdana Menteri Kamboja. Masa itu sering diwarnai drama kemarahan Sihanouk di panggung politik. Ia kembali menjadi Raja Kamboja setelah wafatnya sang ayah pada tahun 1960.

Setelah kembali bertakhta, Sihanouk membawa Kamboja dalam situasi sulit dengan sikap netralnya saat dunia dilanda Perang Dingin. Sihanouk adalah salah satu pendiri Gerakan Nonblok.

Hubungan dengan Amerika Serikat (AS) memburuk pada tahun 1965, bahkan Kamboja memutuskan hubungan diplomatik dengan AS lantaran keterlibatan AS di Perang Vietnam. Sihanouk bahkan seolah membuka front terhadap Amerika saat tahun 1969, Kamboja berpaling ke China. AS, yang merasa khawatir Kamboja menjadi tempat bernaung pelarian Vietnam, membombardir tempat-tempat di Kamboja yang diduga menjadi sarang pengungsi Vietnam.

Sihanouk, yang gagal menjauhkan Kamboja dari peperangan, berkali-kali memprotes tindakan AS itu, tetapi protesnya tak diacuhkan.

Di dalam negeri Kamboja, Sihanouk dikenal dengan pemerintahan satu tangan. Ia bahkan sempat dikritik sebagai penguasa Khmer di zaman kuno, tetapi berbaju gaya Barat.

”Saya Sihanouk dan seluruh rakyat Kamboja adalah anak-anakku,” ungkapnya. Sebagai politisi Kamboja, semasa takhta dipegang sang ayah, Sihanouk dikenal keras, bahkan sebagian menyebutnya zalim dan kejam.

Akan tetapi, Sihanouk juga dikenal sebagai dilettante, penggemar seni, playboy yang tak kenal lelah, sering terlihat dengan antusiasmenya yang terkesan kekanak-kanakan. Ia juga membuat film, melukis, mengarang lagu, menjadi manajer tim sepak bola, bahkan memimpin grup musik jazz-nya sendiri. Ia juga dikenal gemar mobil-mobil balap, gemar makanan, dan juga wanita. Ia menikah setidaknya lima kali (bahkan ada yang mengatakan enam kali) dan memiliki 14 anak.

Meski demikian, banyak warga Kamboja mengagumi Sihanouk bak seorang dewa. Sampai akhirnya, tahun 1970 Sihanouk disingkirkan kudeta oleh jenderal-jenderal pimpinan Lon Nol yang didukung AS pada saat ia tengah berada di luar negeri. Sihanouk pun hidup di pengasingan di Beijing.

Sihanouk kemudian berpihak kepada gerilyawan komunis, Khmer Merah. Namun, komunis rupanya hanya memperalat Sihanouk, bahkan memaksa sang raja itu dalam status tahanan rumah di istananya sendiri saat mereka berkuasa di Kamboja.

Sihanouk kembali bertakhta pada tahun 1993. Ia secara tiba- tiba mengundurkan diri dari takhta pada Oktober 2004 dengan alasan usia yang sudah tua dan kondisi kesehatan.

(AP/AFP/why/sha)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com