Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia, ASEAN, dan Laut China Selatan

Kompas.com - 14/10/2012, 02:18 WIB

Satu bulan menjelang digelarnya pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Phnom Penh, Kamboja, 15-20 November, kekhawatiran bahwa ”insiden Juli” bakal kembali terjadi masih terus membayangi. Wisnu Dewabrata

Seperti diwartakan sebelumnya, untuk pertama kali dalam sejarah, ASEAN gagal mencapai kesepakatan saat para menteri luar negeri organisasi regional itu bertemu di Phnom Penh, Kamboja, Juli lalu.

Sebuah rumusan komunike bersama urung ditelurkan saat itu. Padahal, komunike bersama terbilang penting untuk menjadi semacam pedoman sejumlah ”program kerja” ASEAN hingga pergantian keketuaan baru.

Kebuntuan terjadi lantaran tuan rumah Kamboja berselisih tajam dengan dua negara anggota lain, Filipina dan Vietnam, seputar isu sengketa di Laut China Selatan.

Sengketa terjadi antara China, Taiwan, dan empat negara anggota ASEAN, yakni Brunei, Malaysia, Filipina, dan Vietnam.

Dalam pertemuan tingkat menteri ASEAN (AMM) itu, Kamboja menolak keinginan Filipina agar rumusan komunike bersama juga menyebut insiden yang terjadi di beting Scarborough, antara kapal-kapal Filipina dan China, beberapa bulan sebelumnya.

Kamboja menuduh Filipina terlalu memaksakan kepentingan nasionalnya sendiri untuk dimasukkan ke dalam agenda ASEAN.

Filipina dan Vietnam meradang. Mereka balik menuduh China berada di balik sikap keras kepala dan penolakan Kamboja itu.

Apalagi diketahui, sudah sejak lama China memanfaatkan superioritas perekonomiannya saat ini untuk memengaruhi dan mengegolkan sejumlah kepentingannya di luar negeri.

Dalam salah satu artikelnya di majalah bergengsi isu internasional kawasan Asia Pasifik, The Diplomat, Bonnie S Glaser dari Pacific Forum CSIS melansir ”modus” itu memang dengan sengaja dilakukan China.

Menurut Bonnie, saat insiden di beting Scarborough semakin memanas, otoritas China menahan ratusan kontainer pisang dari Filipina dengan alasan telah terkontaminasi hama. Langkah itu menjadi pukulan telak bagi Filipina, yang selama ini mengekspor 30 persen dari total produksi pisangnya ke China.

Modus serupa juga terjadi saat China bersengketa dengan Jepang di Laut China Timur. Pada September 2010, otoritas China menyetop ekspor mineral tanah jarang (rare earths) ke Jepang.

Kebijakan itu muncul setelah kapal patroli Penjaga Pantai Jepang menangkap dan menahan kapal nelayan China beserta nakhodanya lantaran dianggap melanggar wilayah Jepang.

Langkah China menyetop ekspor mineral tanah jarang tersebut juga menjadi pukulan telak secara ekonomi bagi Jepang, yang mengandalkan sepenuhnya impor mineral itu dari China.

Mineral tanah jarang itu sangat dibutuhkan untuk memproduksi sejumlah peralatan canggih, mulai dari komputer, telepon pintar, dan banyak produk teknologi tinggi lain.

Dalam kaitannya dengan Kamboja, China diketahui sangat ”royal” menginvestasikan uangnya di negeri itu.

Pada tahun 2011, Beijing menjanjikan investasi ke Phnom Penh, yang besarannya bahkan mencapai 10 kali lipat dari yang ditawarkan Amerika Serikat.

Klaim China

China mengklaim 90 persen wilayah perairan Laut China Selatan seluas 3,6 juta kilometer persegi. Klaim China itu terkenal dengan batas sembilan garis putus-putus (nine dash lines).

Mengutip situs china.org.cn, klaim itu didasari peta kuno armada laut China psfs abad kedua sebelum Masehi, yang mengklaim China sebagai penemu Kepulauan Nansha (Spratly).

Selain berbagai macam klaim yang didasari sejarah kuno tersebut, Pemerintah China di masa Perdana Menteri (PM) Zhou Enlai pada tahun 1949 juga menegaskan klaimnya dalam bentuk kebijakan sembilan garis putus- putus itu.

Sejumlah negara, seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Indonesia, mengajukan protes atas klaim China itu.

Secara kolektif, mereka juga mengajukan protes resmi tak lama setelah China mendaftarkan peta dan klaimnya tersebut ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 7 Mei 2009.

Walau Indonesia tak masuk dalam kategori negara pengklaim dalam sengketa Laut China Selatan, klaim teritorial China tersebut ”bertumpang tindih” setidaknya dengan sebagian wilayah perairan timur laut Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.

Di perairan tersebut setidaknya ada tiga blok eksplorasi minyak dan gas bumi milik Indonesia.

Kondisi itu dibenarkan pakar hukum laut internasional, Hasjim Djalal. Saat hadir dalam sebuah seminar internasional di Jakarta, awal Oktober, Hasjim memaparkan, Indonesia telah dua kali berupaya menanyakan hal itu secara resmi kepada China.

”Pertama tahun 1994, dengan mengirim utusan diplomatik resmi untuk menanyakan sebenarnya di mana saja titik koordinat, basis, dan batasan dari nine dash lines policies itu. Tak ada jawaban,” ujar Hasjim.

Upaya kedua dilakukan setahun kemudian ketika Menlu Ali Alatas melawat ke Beijing. Oleh Menlu China saat itu, Qian Qichen, pertanyaan Ali hanya dijawab sederhana.

”Kami tidak punya masalah dengan Indonesia. Begitu jawabannya kepada Menlu Ali. Cuma itu jawaban resmi satu-satunya yang disampaikan secara lisan oleh China,” ujar Hasjim.

Indonesia berkepentingan

Selama ini Indonesia dikenal kerap berinisiatif mengupayakan jalan damai dalam menuntaskan sejumlah sengketa dan ketegangan yang terjadi di kawasan Asia Tenggara, tak terkecuali di sengketa Laut China Selatan.

Tak lama setelah AMM mengalami kebuntuan, Menlu Marty Natalegawa ”berkeliling” mencoba ”mengikat” kembali komitmen antarnegara anggota ASEAN dalam mengupayakan solusi sengketa di Laut China Selatan.

Upaya lain juga dilancarkan Indonesia dengan memanfaatkan pertemuan di sela-sela Sidang Majelis Umum PBB di New York, AS, bulan lalu.

Kepada Kompas waktu itu, Marty mengakui, Indonesia berinisiatif menawarkan Draf Nol (Zero Draft) Kode Tata Berperilaku (COC) di Laut China Selatan untuk dibahas bersama.

Draf Nol COC itu diajukan setidaknya sebagai pemicu awal perundingan. Isinya terbilang rinci dan dapat dipakai untuk menghindari ”miskalkulasi” di antara semua pihak saat bertemu di lapangan.

Sejumlah pihak mengapresiasi langkah-langkah diplomasi Indonesia, termasuk Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton saat melawat ke sejumlah negara ASEAN beberapa waktu lalu.

Dalam kesempatan terpisah, peneliti senior Habibie Center, Dewi Fortuna Anwar, menilai, sebagai negara yang ”dituakan” di ASEAN, Indonesia sangat berkepentingan terhadap keutuhan organisasi kawasan itu.

Kegagalan ASEAN mengelola isu Laut China Selatan dapat menghancurkan kredibilitas ASEAN, yang selama ini berambisi ingin menjadi pemain kunci dalam konteks arsitektur kawasan dan global.

”Jika sudah begitu, celah bagi negara besar untuk mengadu domba ASEAN kembali terbuka. Kalau China saja berhasil, apa pula yang bisa mencegah AS, Rusia, Jepang, dan yang lain melakukan hal sama terhadap ASEAN?” tutur Dewi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com