Seluruh pengalaman masa muda dan masa kecilnya di Provinsi Shandong sangat memengaruhi karya Mo. Itu, antara lain, terlihat dalam salah satu novel terpentingnya,
Buku berisi lima kisah yang saling menjalin cerita tentang dekade penuh guncangan pada dekade 1920- 1930 di Gaomi. Pada 1987, novel yang mengungkap budaya para bandit, pendudukan Jepang, dan kondisi petani miskin yang bertahan hidup itu diadaptasi menjadi film oleh sutradara kenamaan China, Zhang Yimou.
Kritik dan ”keburukan sifat manusia” yang menapasi karya Mo pernah membuatnya menjadi tertuduh subversif. Gara-garanya, kritik tajamnya atas situasi masyarakat China kontemporer yang ia tulis dalam dua novelnya,
Ahli sastra China, Eric Abrahamsen, menyebut Mo Yan sebagai ”penulis besar” yang membuat ”cerita besar tentang China” dan menulis ”novel hebat tentang China”. ”Mo Yan selalu cerdik memutuskan apa yang bisa ditulis dan apa yang tidak bisa ditulisnya,” kata Abrahamsen.
Mo memang tak pernah bosan mengoplos humor satir membumbui tuturan tentang kehidupan keseharian warga China. Novel terakhir Mo Yan,
Mo memang tetap hidup dalam kesederhanaannya sebagai orang Gaomi, sebagaimana dituturkan Sekretaris Tetap Akademi Swedia Peter Englund. ”Saya sudah menelepon dia. Dia menerima telepon saya saat berada di rumah. Ia tinggal bersama ayahnya di Gaomi. Tak banyak yang bisa kami bicarakan karena ia tak bisa berbahasa Inggris dan saya tidak bisa berbahasa China, tetapi ia merasa sangat senang dengan hadiah Nobel Sastra,” tutur Englund.
Englund menyebut Mo sebagai penulis yang piawai menggabungkan fantasi dan realitas, sejarah dan perspektif sosial. Mo Yan telah menciptakan kompleksitas kisah yang mengingatkan kita pada karya William Faulkner dan Gabriel García Márquez, tetapi sekaligus kuat menghadirkan akar budaya Mo Yan, yaitu karya sastra tulis ataupun lisan tradisional China.
Media Pemerintah China menjuluki karya Mo Yan sebagai karya ”provokatif dan vulgar”. Namun, Pemerintah China sepertinya menyambut baik penghargaan Nobel Sastra bagi Mo Yan, kontras dengan reaksi Pemerintah China yang menyayangkan penghargaan Nobel Perdamaian 2010 bagi Liu Xiaobo yang sedang dipenjara ataupun Nobel Sastra 2000 bagi Gao yang berkewarganegaraan Perancis.
Para pengguna media sosial juga merayakan penghargaan Nobel Sastra bagi Mo. Namun, para aktivis hak asasi manusia mengkritik Mo Yan sebagai sastrawan yang terlalu dekat dengan Partai Komunis China. Seniman ternama China, Ai Weiwei, mempertanyakan penghargaan bagi penulis yang disebutnya ”dilekati noda pemerintah” itu.
Apa pun, Mo layak disebut sebagai penulis yang paling berpengaruh dalam sastra China dan menjadi salah satu sastrawan yang karyanya paling banyak diterjemahkan dalam bahasa asing. Sebuah pencapaian luar biasa bagi seorang anak petani miskin dan putus sekolah yang lantang menuturkan kritik dan sisi buruk sifat manusia.(AFP/Reuters/AP/www.nobelprize.org)