Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menghindari Jalan Buntu di Laut China Timur

Kompas.com - 29/09/2012, 05:20 WIB

Oleh René L Pattiradjawane

Dunia abad ke-21 berbeda dengan dunia abad ke-20. Abad ke-21 sering disebut sebagai abad Asia, sementara abad ke-20 disebut sebagai abad Eropa. Abad Eropa terfokus pada lanskap daratan, terbentang lebar dan jauh.

Tragedi kemanusiaan abad ke-20, melalui dua kali perang dunia yang menelan jutaan korban manusia, terpusat di Jerman dan menjadi refleksi perlawanan terhadap fasisme. Abad ke-20 juga menyebabkan dunia terbelah ke dalam beberapa kubu melalui Perang Dingin.

Kini, kondisi geostrategi yang membentuk dunia pada abad ke-21 pun bergeser dari lanskap daratan menjadi lautan, dan mulai mencari pola-pola baru di kawasan Asia Timur yang sedang diramaikan klaim tumpang tindih wilayah kedaulatan. Kondisi geostrategis ini terpusat pada China, negara yang kebangkitan kekuatan ekonomi dan militernya mengkhawatirkan banyak pihak.

Bagi China, masa ini adalah untuk pertama kali keseluruhan perbatasan daratannya dengan banyak negara di kawasan barat dan selatan lebih aman dibandingkan saat puncak kekuasaan Dinasti Qing abad ke-18. Dengan demikian, secara logis, China memang mulai memproyeksikan kekuatan ekonomi, politik, dan militer ke lanskap lautan melalui ekspansi kekuatan angkatan lautnya.

Logika ini yang menjelaskan ambisi China dalam klaim tumpang tindih di Kepulauan Diaoyu atau Senkaku di Laut China Timur ataupun di Kepulauan Spratly dan Paracel di Laut China Selatan. Logika ini juga yang menjelaskan ambisi China di lautan dengan meluncurkan kapal induk Liaoning pertengahan pekan ini. China ingin menjadi kekuatan utama maritim melalui pembangunan kekuatan angkatan laut.

Kecepatan laut

Berbeda dengan abad ke-20 ketika kecepatan menjadi penentu kemenangan dan keberhasilan pertempuran di darat, seperti terlihat dalam konsep Blitzkrieg Jerman. Situasi lanskap laut memberi dampak berbeda pada kekuatan maritim.

Secara alamiah, laut memiliki keterbatasan dibandingkan daratan. Walaupun dengan segala kemajuan teknologi yang telah dicapai selama ini, laut tetap akan menjadi hambatan bagi negara lain untuk melakukan agresi. Konteks pemikiran ini memberi kita pemahaman, konflik terbuka di Kepulauan Senkaku atau Diaoyu tak akan pecah menjadi perang terbuka China-Jepang.

Alasan lain adalah kecepatan. Kapal perang tercepat di dunia sekalipun hanya memiliki kecepatan maksimum 35 knot laut (sekitar 65 kilometer per jam), yang memberi kesempatan para pengambil keputusan mengkaji ulang keputusan yang mereka ambil.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com