Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
PERBANKAN

Bias Gender dalam Kredit Perbankan

Kompas.com - 23/09/2012, 15:02 WIB
Eny Prihtiyani

Penulis

KOMPAS.com — Kesetaraan gender memang sudah lama diperjuangkan. Perempuan pun mulai diperlakukan sama, baik di wilayah politik maupun ekonomi. Sayangnya perlakukan seperti itu belum terjadi secara merata.

Salah satunya pada pelayanan kredit perbankan. Perempuan belum diterima secara utuh sebagai nasabah, yang mendapatkan perlakuan sama dengan nasabah laki-laki.

Studi International Finance Corporation mengungkap, perbankan saat ini masih kurang memberikan perhatian kepada nasabah perempuan. Bank kurang menyadari daya beli perempuan dan belum menjadikan mereka sebagai target pemasaran. Padahal, perempuan memiliki potensi untuk menghasilkan hubungan perbankan yang berkelanjutan dan menguntungkan.

Kiprah perempuan dalam ranah ekonomi tak perlu diragukan lagi. Mereka menjadi pengelola usaha di berbagai sektor, seperti pertanian dan perdagangan.

Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sekitar 60 persen dari total usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), yang jumlahnya mencapai 50 juta, dijalankan oleh perempuan.

Menurut Direktur International Finance Corporation untuk Asia Timur dan Pasifik Sergio Pimenta, lebih dari 90 persen usaha kecil dan menengah milik perempuan menggunakan tabungan pribadi. Artinya, mereka rajin menyimpan uang hasil usahanya.

Perempuan juga dikenal sebagai pekerja yang tangguh dan nasabah yang disiplin dalam membayar angsuran. Mereka hampir jarang yang menunggak. Mereka tahu persis kapan jadwal harus membayar angsuran pinjamannya sehingga sudah mempersiapkan jauh-jauh sebelumnya.

Eksperimen Grammen Bank di Banglades juga mengungkap bahwa perempuan adalah nasabah yang loyal, yang mengembalikan pinjaman mereka dengan jauh lebih tertib dibandingkan dengan laki-laki.

Tak hanya eksis di UMKM, perempuan juga merambah ke bisnis skala menengah dan besar. Hal itu terlihat dari bertambahnya entrepreneur perempuan tiap tahun. Keberadaan mereka tentunya tidak hanya berkontribusi bagi ekonomi keluarga, tetapi juga ekonomi negara.

Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari, jumlah wirausaha perempuan secara keseluruhan baik di UMKM maupun bisnis skala besar masih tergolong kecil. Persentasenya baru 0,1 persen dari total jumlah penduduk. Namun, ia yakin, jika dukungan pembiayaan perbankan menguat, jumlah wirausaha perempuan akan semakin banyak.

Sergio mengatakan, pertumbuhan dan keberhasilan bisnis kalangan perempuan adalah salah satu perubahan paling besar dalam dunia bisnis saat ini. Namun, kesuksesan mereka belum banyak dilirik kalangan perbankan.

Perbankan seharusnya lebih banyak mengembangkan produk yang diperuntukkan khusus bagi perempuan. Sayangnya, perbankan masih melihat sebelah mata nasabah perempuan.

Kalaupun mendapatkan akses, perempuan dinilai memiliki risiko tinggi sehingga dipatok dengan bunga yang lebih tinggi. Perlakuan itu diterapkan untuk memenuhi kriteria 5C (character, capacity, capital, collateral, dan condition).

Lima kriteria ini diperlukan untuk memitigasi risiko kreditnya. Dengan pendekatan tradisional berupa kolateral untuk setiap pinjaman, perbankan telah menyingkirkan banyak sekali perempuan dari kesempatan berusaha karena suami merekalah yang namanya tercantum dalam bukti kepemilikan harta.

Kini, sudah saatnya perbankan mengubah paradigma soal nasabah perempuan. Pengalaman Grammen Bank mungkin bisa menjadi salah satu referensi.

Muhammad Yunus dalam bukunya, Banker to The Poor; The Story of The Grameen Bank, menuliskan, pada 1977 budaya masyarakat Banglades belum menerima jika seorang perempuan menjadi pengusaha untuk membantu keluarga. Namun, Yunus memutuskan memanfaatkan bank miliknya untuk memberikan pinjaman lunak kepada perempuan dengan persiapan mengenal lebih dekat karakteristik berdasarkan gender.

Dalam eksperimen yang dilakukan Yunus terlihat perempuan lebih mengambil berat perhatiannya terhadap pembangunan keluarga karena biasanya perempuan memiliki mimpi yang sangat tinggi terhadap keluarganya untuk keluar dari kemiskinan berbanding dengan lelaki yang lebih menghabiskan uang untuk sesuatu yang tidak membangun keluarga, seperti membeli rokok atau memakai uang untuk keperluan lainnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com