Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sampang, Amerika dan "Innocence of Muslims"

Kompas.com - 19/09/2012, 10:49 WIB

SURABAYA, KOMPAS.com--Ketika kerusuhan Sampang di Madura, Jawa Timur "meletus" pada 26 Agustus 2012 dengan menewaskan satu orang dan melukai enam orang, maka orang-orang Sampang pun disudutkan.

Betulkah orang Sampang tidak menghargai perbedaan? Ternyata, penghargaan terhadap perbedaan itu tidak ada hubungannya dengan orang Sampang atau bukan, bahkan orang Amerika sekalipun.

Buktinya, ketidaksiapan dalam menghargai perbedaan itu tidak ada hubungannya dengan orang modern atau bukan, adalah munculnya film "Innocence of Muslims" yang dibuat warga Yahudi-Amerika pada tahun 2011 dan diunggah ke Youtube (internet) pada September 2012.

Penghinaan simbol-simbol suci yang menyebabkan Dubes AS di Libya Christopher Stevens dan staf itu tewas agaknya bukanlah yang pertama, sebab pola serupa sudah terjadi sejak tahun 1988.

Sejarah mencatat ada enam film, novel, dan kartun yang dibuat atas nama kebebasan berpendapat dan berbicara, namun akhirnya memicu kontroversi, karena kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan menghina orang lain.

Tahun 1988, terbitlah novel "The Satanic Verses" yang dikarang Salman Rushdie yang kelahiran Mumbai, India. Novel itu dinilai menggambarkan dan menyinggung kehidupan Nabi Muhammad dan proses turunnya Al Quran secara tidak benar.

Kontroversi berlanjut dengan adanya film "Submission" yang dirilis pada jaringan TV publik Belanda (VPRO) pada 29 Agustus 2004. Film pendek berdurasi 11 menit itu disutradarai Theo Van Gogh dan skenarionya ditulis Ayaan Hirsi Ali, mantan anggota parlemen Belanda.

Film itu menceritakan empat karakter fiksi yang diperankan aktris tunggal perempuan bercadar yang tubuhnya dipenuhi tato ayat-ayat Al Quran. Ia mengalami berbagai kekerasan dari suaminya dan ayat Al Quran yang ditato pada tubuhnya itulah yang melegalkan perilaku itu.

Akhirnya, sutradara film itu Theo Van Gogh dibunuh oleh seorang Muslim fundamentalis, Mohammed Bouyeri pada 2 November 2004. Bouyeri diganjar hukuman seumur hidup tanpa remisi.

Pada September 2005, surat kabar Denmark, Jylland-Posten, memuat kartun Nabi Muhammad yang menggambarkan wajah Muhammad SAW dengan memakai sorban yang dililit dengan sumbu bom di bagian atasnya. Sekitar 100 demonstran tewas karena demo atas kartun yang beredar pada 50 media di Eropa.

Ada lagi sebuah film kartun berjudul "The Life of Muhammad" yang diluncurkan oleh politisi Belanda keturunan Iran, Ehsan Jami, yang murtad (keluar dari Islam) pasca-teror 9/11.

Film kartun yang dirilis pada April 2008 itu menceritakan kehidupan Nabi Muhammad dengan istrinya yang masih berusia sembilan tahun, Aisyah, namun dalam sudut pandang seksual. Film itu juga menggambarkan wajah Nabi Muhammad SAW.

Pada tahun yang sama (2008), anggota Parlemen Belanda, Geert Wilders, membuat film "Fitna" berdurasi 17 menit yang bercerita tentang Islam, ayat-ayat Al Quran, dan potongan-potongan aksi terorisme yang dilakukan oleh umat Islam.

Tidak hanya itu, peringatan 11 September 2011 disikapi enam warga AS dengan aksi perobekan Al Quran di depan Gedung Putih, Washington, AS, lalu Pendeta Bob Old dan Danny Allen dari Springfileld, AS, juga dilaporkan membakar dua salinan Al Quran dan satu teks Islam lainnya di depan segelintir orang di halaman belakang sebuah rumah.

Seperti tidak jera, film kontroversial pun tetap ada. Adalah seorang pria keturunan Israel-Amerika dan pengembang real-estate di California Selatan, AS, yakni Sam Bacile, yang membuat film bertajuk "Innocence of Muslims" yang berdurasi dua jam pada tahun 2011.

Film yang menewaskan Dubes AS untuk Libya beserta tiga stafnya pada 11 September 2012 itu mengisahkan tentang kehidupan Nabi Muhammad SAW yang digambarkan sebagai pria yang gemar tidur dengan banyak wanita dan sering membicarakan soal pembunuhan anak-anak.

Cara Nabi

Agaknya, apa yang terjadi di Sampang merupakan salah paham terhadap Islam yang sifatnya internal (antar-Islam), sedangkan apa yang terjadi di Barat (Amerika dan Eropa) merupakan salah paham terhadap Islam secara eksternal, namun kedua salah paham terhadap Islam itu sama-sama provokatif.

Dalam buku bertajuk "Seruan Azan dari Puing WTC (Dakwah Islam di Jantung Amerika Pasca 9/11)" yang ditulisnya, imam Masjid Al Farah, New York, AS, Imam Feisal Abdul Rauf, menyebutkan dialog mutlak diperlukan, karena tanpa dialog tidak akan terjadi perubahan-perubahan lebih jauh.

"Langkah pertama adalah dialog. Dialog menciptakan iklim yang memungkinkan isu-isu yang lebih besar menjadi lebih mudah untuk ditangani. Menolak dialog berarti mengekalkan konflik," katanya.

Imam Feisal Abdul Rauf pun merancang visi baru bagi Muslim dan Barat yakni merancang perdamaian massal (pelaksana oleh pemimpin AS), berkembang dari Muslim di Amerika menjadi Muslim Amerika (Muslim AS), dan membentuk generasi warga Muslim berikutnya (para pendidik).

Visi lainnya, mengupayakan perdamaian di Tanah Suci (pelaksana oleh Yahudi AS), dan menggiatkan dialog antar-agama (Kristiani AS), menampilkan Islam secara benar (media AS), dan mengganti keinginan "membunuh" dengan keinginan meraih keuntungan yang cepat (masyarakat bisnis).

Selanjutnya, berperang melawan terorisme (dialog antarbudaya), melihat citra Tuhan dalam Diri yang lain (dialog antaragama), dan Cordoba Initiative (Muslim paling berpendidikan, pluralistik, dan toleran).

"Memegang lentera kebebasan, harapan, dan persahabatan adalah karunia Amerika yang terbesar kepada dunia dan ini merupakan tanggung jawab suci," kata imam besar yang menginjakkan kaki di New York sebagai imigran Muslim di Amerika pada 22 Desember 1965 itu.

Tidak kalah dengan AS, Indonesia juga memiliki nilai-nilai luhur untuk menyelesaikan konflik agama dengan lebih bijak, karena dasar negara Pancasila mengajarkan pentingnya musyawarah/dialog dan toleransi dalam menyikapi perbedaan dalam kemajemukan.

Ternyata, Pancasila juga tidak kalah modern, ketimbang sikap dan perilaku manusia modern yang memiliki kecanggihan teknologi, namun tidak memiliki kecanggihan berpikir secara dewasa dan bijak.

Ironi orang modern itu dikemukakan asisten profesor dari Georgia State University dan anggota Institute Kebijakan Sosial dan Kesepahaman, Abbas Barzegar.

"Satu-satunya ironi yang menggelikan adalah keras kepala yang terus-menerus dari kedua pihak, baik komitmen Barat terhadap ’kebebasan berbicara’ maupun dunia Muslim yang responsif terhadap  kekerasan," katanya.

Oleh karena itu, Presiden AS Barack Obama "meluruskan" ironi itu. "Sebagai orang Amerika, kami takkan pernah berperang dengan Islam. Islam bukanlah agama yang menyerang kita pada hari di September itu. Itu pekerjaan Al Qaida," kata Obama di Pentagon (11/9/2011).

"Islam bukan musuh (dalam upacara-upacara yang diadakan untuk menandai ulang tahun serangan-serangan pada 11 September itu). Jangan menaruh ’kebencian dan prasangka’," katanya.

Pentingnya dialog antarberbagai kalangan untuk menepis kebencian dan prasangka agaknya menjadi cara yang sudah lama diperjuangkan Nabi Muhammad SAW sendiri, bukan dengan cara memanfaatkan kebebasan berbicara untuk kebebasan menghina pihak lain.

Para nabi pembawa risalah agama samawi tidak pernah mencontohkan cara-cara kekerasan, bahkan Nabi Muhammad SAW saja tidak pernah membalas sikap musuhnya yang membakar Al Quran atau menyobek surat nabi.

Apa yang dilakukan nabi? Nabi yang buta aksara itu justru mendoakan musuhnya supaya diberi hidayah/petunjuk, bahkan tantangan malaikat Jibril untuk meluluhlantakkan wilayah musuh-musuhnya pun ditolak.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com