Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Multilateralisasi Tanpa Prasangka

Kompas.com - 19/09/2012, 02:12 WIB

RENE L PATTIRADJAWANE
E-mail: rlp@kompas.com SMS: 081802-KOMPAS

Krisis di kawasan Laut China Selatan dan Laut China Timur, yang telah mengarah pada ketegangan terbuka dengan berbagai unjuk rasa anti-Jepang di China, akan memengaruhi perimbangan kekuasaan di kawasan ini. Ketegangan atas klaim tumpang tindih ini pada akhirnya mengancam juga perimbangan ekonomi Asia yang nilainya mencapai 18 triliun dollar AS.

Klaim tumpang tindih kedaulatan atas pulau kosong dan pulau karang di wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara menjadi krisis yang tidak masuk akal. Ketegangan yang menyebabkan terjadinya unjuk rasa besar-besaran di daratan China sepekan terakhir adalah bukti nyata ancaman yang bisa berdampak pada stabilitas perekonomian Asia yang dinamis.

Pembelian tiga pulau tak berpenghuni, yakni Kubashima, Minami-Kojima, dan Kita-Kojima, di gugus Kepulauan Senkaku (China menyebutnya Diaoyu) oleh Pemerintah Jepang menjadikan krisis klaim tumpang tindih berkembang liar, dan bertentangan dengan norma-norma hukum laut internasional.

Kita memahami krisis ini setidaknya disebabkan oleh empat faktor yang bisa memengaruhi perimbangan kekuasaan dan kekuatan di kawasan ini. Pertama, klaim ini didasarkan pada mitos sejarah dan bukti-bukti sejarah dari masa ratusan tahun lalu yang mengarah pada legitimasi yang mengabaikan hukum dan tata hubungan internasional modern di era globalisasi.

Kedua, ada faktor kebangkitan China yang dipersepsikan sebagai agresif karena menjadi tantangan dan ancaman serius polarisasi global dalam hal dominasi politik, ekonomi, dan perdagangan. Dari perspektif sejarah, kebangkitan China memiliki kesamaan dengan kebangkitan Jepang setelah Restorasi Meiji, dan tumbuh sebagai kekuatan liar karena kebutuhan pertumbuhan ekonominya yang diejawantahkan melalui kolonisasi dan ekspansi sumber-sumber daya alam.

Ketiga, adanya persepsi tentang keberadaan sumber-sumber minyak dan gas di kawasan Laut China Selatan dan Laut China Timur yang bisa diakses melalui penggunaan teknologi. Keamanan energi di tengah globalisasi ini menjadi penting bagi semua pihak yang memiliki klaim di kawasan tersebut.

Faktor keempat terkait dengan situasi resesi global akibat rontoknya sistem keuangan di AS dan krisis zona euro yang berdampak pada merosotnya sejumlah harga komoditas. Situasi ini menyebabkan munculnya nasionalisme sumber daya atas sektor-sektor utama dunia, seperti energi, pertambangan, dan agrobisnis.

Nasionalisme

Nasionalisme sumber daya dalam berbagai bentuk komoditas memunculkan ancaman (khususnya terhadap para pengusaha multinasional) melalui kenaikan pajak, renegosiasi perjanjian bisnis, partisipasi perusahaan-perusahaan negara, serta kebangkitan nasionalisasi dalam berbagai bentuk. Ini terjadi di mana-mana, termasuk di Indonesia yang memberlakukan peningkatan pajak ekspor atas sumber daya alam.

Faktor-faktor ini memperumit klaim tumpang tindih kedaulatan yang sekarang terjadi, yang tidak hanya mendorong negara sebagai aktor politik, tetapi juga meluas hingga peran serta rakyat di masing-masing negara pengklaim. Ini yang terjadi di Kepulauan Senkaku atau Diaoyu, pulau-pulau kosong yang sudah menjadi komoditas.

Tak lama lagi, kita pun akan melihat kejadian serupa di kawasan lain, seperti Kepulauan Spratly dan Paracel, melalui berbagai bentuk. Mulai dari konsesi pemerintah ke berbagai perusahaan dalam dan luar negeri untuk melakukan eksplorasi sumber daya, termasuk wilayah penangkapan ikan ataupun kawasan wisata kelautan.

Presiden Taiwan Ma Ying Jeou belum lama ini mengusulkan inisiatif perdamaian Laut China Timur, sesuatu yang sulit dilakukan karena akan ditolak Beijing. Multilateralisasi tanpa prasangka mungkin menjadi solusi yang perlu dipertimbangkan mengingat rumitnya berbagai faktor di atas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com