Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menata Multilateralisme

Kompas.com - 16/09/2012, 04:20 WIB

Rene L Pattiradjawane

Dalam bahasa Presiden Rusia Vladimir Putin kepada para penguasa Asia dalam pertemuan forum bisnis Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik atau APEC, lanskap ekonomi global sedang berubah. Bagi negara bekas adidaya di masa Perang Dingin ini, perubahan lanskap ekonomi dari kontinen Eropa menjadi penting dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi Rusia.

Kehadiran Rusia di kawasan Asia memang menjadi sangat signifikan, paling tidak dalam dua hal. Pertama, dua pertiga wilayah Rusia terletak di Asia secara geostrategis. Kepentingannya pun harus kembali ke pola Perang Dingin ketika Uni Soviet menjadikan Asia Pasifik sebagai wilayah strategis kepentingan globalnya melalui penempatan kekuatan militer, termasuk di Teluk Cam Ranh, Vietnam.

Kedua, perdagangan intra- APEC mencapai angka sekitar 16 triliun dollar AS, yang dengan sendirinya memberi keuntungan bagi Rusia ketika mulai mempertimbangkan keuntungan ekonomi dan perdagangan, melalui kebijakan poros dengan menjadikan Vladivostok sebagai titik tolaknya.

Selama ini, kerja sama ekonomi dan perdagangan Rusia dengan Asia hanya seperempat dari total perdagangan luar negeri Rusia, lebih kecil daripada dengan Eropa yang mencapai lebih dari separuh.

Poros Vladivostok menjadi pilihan strategis ketika Rusia harus menggeser strategi ekonomi dan perdagangannya ke Asia Pasifik di tengah krisis zona euro yang berkepanjangan.

Rusia di Asia

Menurut harian Financial Times, pertumbuhan kerja sama ekonomi dan perdagangan Rusia dengan Asia meningkat signifikan. Perdagangan Rusia dan China, misalnya, mencapai 80 miliar dollar AS tahun 2011 dan diproyeksikan mencapai 200 miliar dollar AS tahun 2020.

Jumlah ini lebih besar daripada perdagangan Rusia-Jerman yang 50 miliar dollar AS atau Rusia-AS yang 34 miliar dollar AS. Perdagangan Rusia-Korea Selatan meningkat tiga kali lipat dalam lima tahun hingga 2010, mendekati 18 miliar dollar AS. Adapun dengan Jepang dalam periode yang sama mencapai 23 miliar dollar AS, dan akan terus meningkat karena Jepang membutuhkan minyak dan gas setelah bencana nuklir Fukushima.

China sendiri menghadapi persoalan serius ketika laju pertumbuhan ekonominya diperkirakan hanya 7,6 persen tahun ini, sedikit di atas perkiraan banyak pengamat ekonomi. Dalam pertemuan Dewan Negara RRC di Beijing pertengahan pekan ini, Perdana Menteri Wen Jiabao mengumumkan beberapa langkah stabilisasi pertumbuhan perdagangan luar negeri China menghadapi kekacauan ekonomi global akibat resesi berkepanjangan dan rontoknya sistem keuangan di AS dan Eropa.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com