tripoli, kamis -
Di akhir krisis Libya, Senussi sempat kabur ke beberapa negara di Afrika. Terakhir, dia diketahui berada di Mauritania. Tokoh intelijen paling ditakuti di Libya itu masuk Mauritania dari Maroko menggunakan paspor Mali dengan nama palsu. Dia ditangkap aparat Mauritania, Maret.
Hari Rabu dia diekstradisi ke tanah airnya setelah ditahan di Nouakchott, Mauritania, sejak 16 Maret. Tampaknya keputusan ekstradisi tersebut berbenturan dengan keinginan Perancis yang ingin menangkapnya, juga dengan keinginan Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) ingin mengadilinya. Senussi dicari ICC dengan tuduhan melakukan kejahatan kemanusiaan.
Pihak Amerika Serikat mendesak Libya agar melakukan proses hukum Senussi dengan fair, dan dia tak harus diserahkan kepada ICC.
”Kasus Senussi akan menjadi momen penting bagi Libya. Negara itu bisa mengambil semua langkah yang diperlukan untuk memastikan Senussi dijaga dengan baik, diperlakukan manusiawi, dan sesuai dengan kewajiban internasional Libya,” kata Wakil Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Patrick Ventrell.
”Sangat penting jika dia diminta bertanggung jawab, baik sesuai aturan di Libya maupun internasional,” kata Ventrell.
Beberapa waktu lalu, Ketua Dewan Transisi Nasional Libya Mustafa Abdul Jalil menuding Senussi terlibat dan bertanggung jawab atas pembunuhan di penjara Abu Salim, Tripoli, yang mengakibatkan tewasnya lebih dari 1.200 tahanan tahun 1996.
”Dokumen dan bukti yang dimiliki Libya menunjukkan, Senussi adalah pelaksana pembantaian itu,” kata Jalil.
Senussi menjadi target internasional atas sejumlah kejahatannya setelah pengadilan Paris, Perancis, dalam sidang in absentia menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepadanya beberapa waktu lalu. Dia terbukti terlibat pengeboman pesawat Perancis UTA di Niger, September 1989, atau kasus Lockerbie. Pesawat itu membawa 170 penumpang dari Brazzaville ke Paris melalui N’Djamena.
Amnesty International (AI) menegaskan, Senussi harus diseret ke pengadilan internasional. ”Keputusan untuk mengirim Senussi ke Libya, yang sistem peradilannya lemah dan tanpa garansi hukum yang fair, pasti menjadi persoalan. Hal ini bisa mengarah pada pelanggaran hak Senussi untuk pengadilan yang adil,” kata Marek Marczynski dari AI.