Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

China Bangun Garnisun di Kepulauan Paracel

Kompas.com - 24/07/2012, 04:51 WIB

BEIJING, SENIN - Pemerintah China berencana mendirikan markas pasukan militer di salah satu pulau di kawasan sengketa Laut China Selatan. Pulau itu terletak di Kepulauan Paracel, yang diperebutkan beberapa negara di kawasan.

Rencana tersebut telah disetujui Komisi Militer Pusat China. Keputusan itu sekaligus menetapkan Pulau Sansha di Kepulauan Paracel sebagai area mobilisasi pertahanan nasional dan kegiatan pasukan cadangan.

Pengumuman rencana pendirian markas garnisun yang disampaikan Kementerian Pertahanan China, Senin (23/7) itu diyakini akan memicu ketegangan, terutama dengan pihak Vietnam, yang juga mengklaim menguasai Kepulauan Paracel.

China mengklaim seluruh kawasan perairan Laut China Selatan, termasuk di dalamnya dua kepulauan Paracel dan Spratly, yang juga diklaim Vietnam dan Filipina.

Dua dari empat negara anggota organisasi kawasan Asia Tenggara ASEAN itu sejak lama bersilang sengketa dengan China. Dua negara anggota ASEAN lain, Malaysia dan Brunei, juga mengklaim sebagian kepulauan tersebut.

Selain kelima negara itu, Taiwan juga bergabung sebagai negara pengklaim kedaulatan di perairan Laut China Selatan. Taiwan bahkan lebih dulu membangun landas pacu pesawat di Kepulauan Spratly.

Namun, pihak China belum memastikan kapan pembangunan markas garnisun itu dilaksanakan. China berencana menjadikan Pulau Sansha sebagai pusat administrasi yang menangani kedua kepulauan tersebut.

Unjuk rasa

Dari Vietnam, Minggu, kemarin muncul aksi unjuk rasa yang menentang langkah China itu. Pada masa lalu, China dan Vietnam Selatan mengelola kawasan berbeda di Kepulauan Paracel. Akan tetapi, Beijing mengambil alih hampir semuanya setelah konflik kedua negara tahun 1974. Vietnam hanya menguasai sebagian dari pulau terbesar di kepulauan tersebut.

Sengketa kerap terjadi, terutama beberapa pekan terakhir, yang melibatkan China, Filipina, dan Vietnam. Kedua negara terakhir menyebut ketegangan terjadi akibat sikap China yang dinilai melanggar batas.

Pada Juni, perusahaan eksplorasi minyak lepas pantai yang didukung Pemerintah China mengumumkan penawaran untuk mengeksplorasi minyak di blok laut di wilayah sengketa. Pengumuman itu muncul tak sampai sepekan setelah Vietnam mengadopsi aturan hukum internasional, yang berdampak menempatkan Kepulauan Spratly sebagai wilayah kedaulatan mereka.

Gagal

Awal Juli lalu, ASEAN dalam pertemuan rutin tahunan antar- menteri luar negeri (AMM) ke-45 gagal menghasilkan komunike bersama.

Kebuntuan terjadi setelah tuan rumah Kamboja berselisih paham dengan Filipina, terutama soal perlu tidaknya memasukkan insiden sengketa wilayah terbaru yang terjadi di Beting Scarborough.

Filipina menuduh Kamboja menghalang-halangi upaya memasukkan poin itu karena dikendalikan China, sekutu mereka.

Negara-negara ASEAN tengah berupaya menyusun kode tata berperilaku bersama di wilayah itu untuk disetujui dan diterapkan bersama China.

Sementara itu di dalam negeri Filipina sendiri, Presiden Benigno Aquino III di depan Kongres Filipina, Senin, meminta China menghormati hak negaranya di laut itu.

”Kalau ada orang masuk halaman rumahmu dan mengaku tanah itu miliknya, apakah Anda akan membiarkan itu terjadi? Sangatlah tidak benar menyerahkan begitu saja apa yang menjadi hak Anda. Saya mengajak seluruh rakyat, mari bersama satu kata dalam hal ini,” ujar Aquino.

(AFP/REUTERS/DWA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com