Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jangan Lepas Tangan!

Kompas.com - 17/07/2012, 02:42 WIB

Sudah menjadi peristiwa rutin, setiap kali menjelang Lebaran harga kebutuhan pokok naik tinggi. Yang sering luput dari perhatian, kenaikan harga kebutuhan pokok menjelang Lebaran biasanya membentuk keseimbangan harga baru. Kalaupun setelah Lebaran harga turun, tidak akan pernah kembali ke tingkat semula.

Akumulasi kenaikan harga terjadi. Tingkat harga barang yang baru tersebut selanjutnya menjadi basis perhitungan biaya produksi yang juga baru di hampir semua produksi komoditas pangan. Hal sama juga terjadi di sektor industri dan jasa, seperti terkait dengan upah buruh dan biaya pengolahan lahan.

Tekanan kenaikan biaya produksi yang baru kembali mendorong kenaikan harga kebutuhan pokok. Dengan demikian, tingkat harga barang yang baru akan berada dua tingkat di atas harga awal sebelum Lebaran.

Naiknya biaya produksi pada akhirnya menekan daya saing dan membuka lebih banyak masuknya produk impor. Produk impor yang melimpah menekan produksi dalam negeri, termasuk komoditas pertanian. Minat masyarakat menanam rendah dan ketergantungan pada barang impor kian tinggi.

Pemerintah tahu, tetapi mengapa kenaikan harga cenderung dibiarkan? Apa karena ingin memberi kesempatan kepada produsen dan pedagang menikmati untung atau sekadar menutupi ketidakmampuannya dalam mengelola sistem logistik di Tanah Air?

Dua periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono, nyaris belum tampak adanya pengembangan pengelolaan sistem logistik yang baik.

Kita tahu, selain beras, beberapa komoditas pertanian diserahkan ke mekanisme pasar sebagai konsekuensi globalisasi. Karena itu, upaya intervensi yang berlebihan bertentangan dengan aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) meskipun pasar terkadang tidak sempurna.

Sekalipun aturan WTO mengikat, bukan tidak mungkin tidak ada celah bagi pemerintah untuk melakukan intervensi.

Intervensi bukan semata pasar murah atau operasi pasar, yang belakangan sekadar menjadi etalase untuk menunjukkan ke publik bahwa pemerintah kelihatan bekerja, tetapi harus lebih dari itu. Daging ayam, misalnya. Menjelang Lebaran harganya bisa melonjak 30 persen, tetapi setelah Lebaran banyak peternak gulung tikar karena harga jatuh.

Ini terjadi karena konsumen ”dikondisikan” untuk selalu mengonsumsi daging ayam segar yang baru dipotong sehingga fluktuasi harga sangat dipengaruhi oleh penawaran dan permintaan. Padahal, daging ayam butuh waktu 40 hari dalam satu siklus produksi untuk menambah pasokan.

Kenaikan harga kebutuhan pokok jelas akan memukul masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah yang mendominasi populasi masyarakat Indonesia. Tidak seharusnya pemerintah lepas tangan! (HERMAS E PRABOWO)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com