Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Aktivis Afganistan Protes Pembunuhan Perempuan

Kompas.com - 12/07/2012, 11:29 WIB
Kistyarini

Penulis

KABUL, KOMPAS.com - Puluhan lelaki dan perempuan Afganistan berunjuk rasa di Kabul, Rabu (11/7/2012), untuk memprotes eksekusi seorang perempuan yang dituduh berzinah.

Dalam sebuah video yang beredar pekan lalu menunjukkan seorang perempuan yang diidentifikasi bernama Najiba (22) ditembak berkali-kali hingga tewas di Provinsi Parwan, sekitar 10 hari silam. Adegan itu ditonton puluhan warga desa yang menyemangati sang eksekutor.

Polisi di Parwan mengatakan Taliban berada di balik pembunuhan itu. Namun pihak Taliban membantah melakukannya.

Dilaporkan, perempuan itu menikah dengan seorang komandan Taliban lokal, namun menjalin hubungan dengan pemimpin Taliban lainnya. Tidak jelas apakah hubungan segitiga itu dilakukan dengan paksaan atau suka sama suka. Pada akhirnya, perempuan itu yang dihukum dengan cara ditembak mati.

Peristiwa itu memicu kecaman dari berbagai pihak. Presiden Hamid Karzai, Kedubes Amerika Serikat di Kabul, para komandan NATO di Afganistan, serta berbagai kelompok aktivis beramai-ramai mengecam aksi kejam tersebut. Kejadian itu mengingatkan bahwa kaum perempuan dari segala usia masih mengalami kekerasan di Afganistan.

"Kami menuntut pemerintah mengambil tindakan atas nama kaum perempuan - yang menjadi korban kekerasan dan yang dibunuh," kata Zuhra Alamya, seorang perempuan aktivis yang ikut dalam unjuk rasa di Kabul, Rabu kemarin.

"Kami ingin pemerintah bertindak tegas dan menghentikannya (kekerasan terhadap perempuan)," tegasnya.

Para pengunjuk rasa yang berjumlah sekitar 50 orang itu membawa kain putih berukuran besar yang bertulisan "Masyarakat internasional: Di mana perlindungan dan keadilan bagi perempuan Afgan?"

Mereka berjalan dari Kementerian Urusan Perempuan Afganistan hingga ke kawasan dekat kompleks PBB di ibukota Afganistan itu. Beberapa orang di antara mereka kemudian berseru, "Hukuman mati bagi pelaku!"

Badan Program Pembangunan PBB (UNDP) masih memasukkan Afganistan dalam daftar negara-negara terburuk dalam hal hak-hak perempuan. Pemerintah Afganistan sendiri memiliki undang-undang progresif dan melindungi hak-hak perempuan.

Mengakhiri kekerasan terhadap perempuan menjadi tugas berat di negara itu, di mana masih ada praktik-praktik tradisional seperti pernikahan usia dini, menyerahkan anak perempuan sebagai pembayar utang atau penggantian dari kejahatan kerabat serta pembunuhan demi kehormatan (honor killing), yakni pembunuhan terhadap anak-anak perempuan yang dianggap mencemarkan nama baik keluarga.

Para perempuan aktivis mengkhawatirkan pencapaian perbaikan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir bisa terkikis ketika pasukan internasional meninggalkan negara itu dan pemerintah bernegosiasi dengan kelompok Taliban.

Semasa rezim Taliban, kaum perempuan dilarang bekerja, bersekolah, bahkan meninggalkan rumah tanpa ditemani kerabat lelaki. Di tempat umum, mereka wajib mengenakan burqa.

Video itu beredar hanya beberapa saat sebelum negara-negara donor bertemu di Tokyo dan memutuskan untuk memberi bantuan sebesar 16 miliar dollar AS pada Afganistan.

Negara-negara donor itu mengungkapkan kekhawatiran mereka tentang bagaimana uang itu akan dikelola dan meminta Kabul meningkatkan penerapan hak asasi manusia, khususnya hak-hak perempuan.

"Kami ingin pemerintah menindaklanjuti pembunuhan terhadap kaum perempuan Afganistan dan mengadili orang-orang yang bertanggung jawab," kata perempuan aktivis, Simi Samar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com