Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Masih Panjang

Kompas.com - 10/07/2012, 01:52 WIB

Trias Kuncahyono

Meski sudah setahun berlalu, rasanya peristiwa itu baru terjadi kemarin lalu, masih begitu hangat. Pada tanggal 9 Juli 2011, lahirlah negara Sudan Selatan yang menjadi negara paling baru di jagat ini.

Sudan Selatan lahir sebagai hasil dari referendum yang dilaksanakan 9 Januari 2011. Referendum dilaksanakan berdasarkan kesepakatan damai yang ditandatangani pada 2005 oleh pemerintah pimpinan Omar al-Bashir dan pemimpin pemberontak dari Sudan selatan, John Garang.

Mereka bersepakat mengakhiri perang saudara yang sudah berlangsung 22 tahun dan menewaskan tak kurang dari 2,5 juta jiwa, terutama penduduk selatan. Dalam perjanjian itu—Persetujuan Damai Komprehensif yang ditandatangani di Juba—disepakati diadakan referendum pada tahun 2011 bagi rakyat Sudan selatan untuk menentukan sikap: memisahkan diri atau tetap bergabung dengan Sudan.

Perang 22 tahun pecah karena sejumlah sebab. Orang-orang selatan merasa bahwa mereka dilupakan oleh pemerintah pusat Khartoum; selatan menganggap kesempatan kerja, kekayaan dari minyak, pembangunan infrastruktur, dan layanan publik semua dipusatkan di utara, yang dikenal sebagai ”segitiga Arab”, sepanjang bagian utara Sungai Nil.

Orang-orang selatan juga merasa bahwa pemerintah pusat memaksakan budaya dan agama pada mereka. Sejak semula, secara historis Sudan terbelah menjadi dua: utara didominasi orang-orang Arab dan Muslim, sedangkan selatan non-Arab, animis, dan Kristen. Persoalan ini pula yang mengobarkan perang saudara pertama (1955-1972), setahun sebelum merdeka (Sudan merdeka 1 Januari 1956). Ketika pecah perang saudara kedua (1983-2005), penyebabnya tetap sama, pertarungan politik-ekonomi dilatari oleh masalah agama dan etnis.

Karena itu, ketika pada akhirnya tercapai kesepakatan damai, dunia pun menyambutnya dengan perasaan lega. Bahkan, ketika pada akhirnya tanggal 9 Juli 2011, Sudan Selatan dinyatakan sebagai negara berdaulat dan merdeka, terpisah dari Sudan utara, dunia seperti berpesta. Tak kurang dari 30 kepala negara ikut merayakan kelahiran negara baru itu. Hadir juga Sekjen PBB Ban Ki- moon. Dunia bernapas lega. Perang saudara di Sudan yang kalau dihitung sudah berlangsung 55 tahun, yang sudah merobek-robek nilai-nilai kemanusiaan, berakhir sudah!

Ternyata, ibarat kata, perdamaian dan kedamaian itu hanya semalam. Perang kembali pecah. Nyawa-nyawa orang tak berdosa kembali melayang. Ribuan orang mengungsi. Salah satu penyebab kembali pecahnya perang adalah minyak bumi. Perjanjian perdamaian yang ditandatangani tahun 2005 tidak mengatur soal pembagian hasil minyak. Lepasnya selatan yang kaya minyak berarti mengurangi hampir separuh pendapatan utara, sedangkan pendapatan selatan naik 20 persen.

Selain minyak—masalah lama: agama dan etnis, belum selesai—masih banyak masalah lain yang menjadi penghambat terciptanya perdamaian antara utara dan selatan. Sebelum berpisah mereka tidak pernah membicarakan secara tuntas, misalnya, masalah utang Sudan, siapa yang harus membayar; bagaimana status orang selatan yang masih tinggal di utara, demikian sebaliknya.

Cerita Sudan belum selesai, bahkan masih panjang. Selama masalah lama—agama dan etnis—belum selesai, persoalan-persoalan lain akan terus bermunculan. Selama isu agama digunakan untuk menghadapi masalah-masalah sekuler, hubungan utara-selatan akan tetap parah. Itu artinya pertumpahan darah masih akan terus terjadi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com