JAKARTA, KOMPAS.com - Wajah keislaman berikut nilai-nilai keindonesiaan dengan semangat Pancasila, yang sejak lama tumbuh kuat di Tanah Air, kini tergerus akibat meluasnya praktik kehidupan serba konsumtif. Kehidupan konsumtif ini sekadar mengedepankan kepuasan individu.
"Hadirnya fenomena itu, jelas mengabaikan aspek kesadaran sosial dalam mengupayakan kemartabatan hidup masyarakat baik ekonomi maupun politik," kata Ketua Dewan Direktur Lembaga Kajian Publik Sabang-Merauke Circle (SMC), Syahganda Nainggolan di Jakarta, Selasa (26/6/2012) malam.
"Terpinggirkannya warna keislaman dan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, terutama dalam corak sosialnya, semata-mata karena merajalelanya budaya kapitalisme di negara ini yang semakin dinikmati pemimpin dan kelompok menengah atas," tambahnya.
Sebelumnya, saat berbicara dalam seminar Hubungan Islam dengan Negara Pancasila di Era Reformasi, Syahganda mengatakan, perdebatan panjang oleh para pemuka bangsa dalam mengharmonikan Islam dan Pancasila demi mengukuhkan persatuan nasional, ternyata semangat historisnya telah dikubur dalam-dalam sekaligus tidak mengemuka ke permukaan selama era reformasi.
"Masyarakat tidak lagi menjadikan prinsip keislaman dan berpancasila sebagai pedoman jati diri bangsa, untuk merajut persatuan serta menciptakan keadilan sosial. Hal itu terjadi, lantaran sepenuhnya dicekoki oleh paham kapitalisme global, sehingga membuatnya terjebak dalam kehidupan yang hedonis, pragmatis, egois/individualistik, dan telanjur materialistik," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.