KOMPAS.com - Dalam pandangan penerima hadiah Nobel asal Myanmar Aung San Suu Kyi, permusuhan bak abadi di tanah airnya. Suu Kyi, sebagaimana warta AP dan AFP pada Sabtu (16/6/2012), menunjuk pada konflik dengan pemberontak di utara Myanmar dan kerusuhan komunal yang mengincar minoritas warga Myanmar beragama Islam.
"Permusuhan tidak berhenti di ujung utara. Di wilayah barat, kekerasan kelompok mengakibatkan pembakaran dan pembunuhan yang terjadi hanya beberapa hari sebelum saya mulai melakukan perjalanan yang membawa saya ke sini hari ini," katanya.
Rezim telah menandatangani kesepakatan gencatan senjata sementara dengan sejumlah kelompok pemberontak dalam beberapa bulan terakhir dalam upaya untuk meredakan konflik sipil yang telah mendera di bagian-bagian negara sejak kemerdekaan pada 1948.
Tetapi, jauh di utara, tempat perang pecah dengan Tentara Pembebasan Kachin (KIA) Juni lalu setelah gencatan senjata 17 tahun hancur, konflik kembali berkobar.
Beberapa pekan terakhir juga telah terlihat bentrokan regional antara mayoritas umat Buddha dan Muslim Rohingya tanpa negara dekat perbatasan barat dengan Bangladesh.
Lima puluh orang tewas dan puluhan terluka dalam bentrokan di negara bagian Rakhine tersebut, kata media pemerintah Sabtu. Ironisnya, saat itu, PBB memperingatkan adanya kesulitan sangat besar dihadapi ribuan mengungsi akibat kerusuhan.