Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Desa Adat dalam Keindonesiaan

Kompas.com - 16/06/2012, 03:55 WIB

Sejarah hukum adat (adatrecht) di Indonesia, berangkat dari Mazhab Leiden dengan tokohnya Cornelis van Vollenhoven, yang secara keliru melihat adat (tata aturan dalam kehidupan masyarakat di Indonesia) sebagai hukum.

Peter Burns, ahli sejarah hukum Indonesia dari Australia, melihat konsep adat dan konsep hukum itu berbeda. Suatu komunitas dapat hidup tanpa institusi hukum. Dalam masyarakat tanpa negara, adat berfungsi mengorganisasi dan menuntun perilaku sosial. Namun, adat itu bisa saja mengandung materi yang dapat dibuat hukum.

Hukum secara esensial bersifat tegas dan jelas yang berfungsi menyelesaikan konflik dalam masyarakat, dan bertindak dalam peran tersebut untuk menerangkan kepada anggotanya kewajiban yang harus dipatuhi, yang dapat dinikmati. Meski adatrecht yang seperti itu hasil konstruksi kolonial Belanda, banyak adat-istiadat otentik memperoleh signifikansi legalnya. (Adat yang Mendahului Semua Hukum oleh Peter Burns dalam Adat dalam Politik Indonesia, KITLV Jakarta/Yayasan Obor Indonesia 2010, halaman 78-79).

Itu sebabnya dalam konteks perbedaan pandangan tentang desa administrasi dan desa adat yang kita hadapi sekarang, apakah perlakuan desa adat akan menggunakan asumsi Burns? Burns mengatakan, pengertian hukum dan negara berdasarkan teori kontrak sosial sebagaimana pandangan Thomas Hobbes, filsuf politik Inggris. Karena otoritas negara berdasarkan landasan rasional, ”hak” (adat dan masyarakat adat) bukanlah sesuatu yang ada sebelumnya yang harus diakui pembuat undang-undang (UU) atau oleh pengadilan. Hak adalah sebuah keistimewaan yang diberikan, dan karena itu bisa ditarik kembali atau ditahan, oleh negara berdaulat. Tanpa penguasa, semua pembicaraan mengenai hak menjadi tidak ada artinya dalam pandangan ini.

Itulah warisan persoalan yang sekarang dihadapi hukum, dan birokrasi pemerintahan Indonesia. Persepsi yang masih saja melihat desa adat, hukum adat, dan masyarakat adat dalam bingkai hak masyarakat adat sekadar pemberian. Karena itu setiap saat bisa dicabut.

Latar belakang

Diskusi tentang RUU Desa, setidaknya bergerak dalam dua kecenderungan. Pertama, fakta negara tak memiliki komitmen untuk membuat desa adat dipertahankan sebagai salah satu komponen struktural dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Kedua, kecenderungan berbalikan agar RUU Desa bisa mewujudkan otonomi desa yang sesungguhnya. Otonomi hanya dapat terwujud jika desa diberi modalitas otonomi yang memadai dan jelas.

Pembicara yang minta pembahasan RUU Desa diulur waktunya agar pembahasannya lebih saksama, adalah sosiolog Robert MZ Lawang. Menurut Robert, seharusnya ditetapkanlah (saja) status permanen (statis dan dinamis) atas desa sebagai antitesa dari pengertian tentang desa menurut negara. UUD 1945 menyebutkan, negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang diatur dalam UU.

Status permanen statis artinya kesatuan masyarakat hukum itu adalah komponen struktural NKRI yang kalau dihilangkan sama dengan menghilangkan negara secara keseluruhan. Status permanen dinamis artinya kesatuan masyarakat hukum itu berkembang karena kemampuan masyarakat hukum itu, ataupun karena hubungan strukturalnya dengan negara yang memberinya arti baru yang harus lebih baik.

Muara pandangan Robert adalah keadilan sosial dan perlawanan terhadap penguasaan dan eksploitasi oleh negara dan masyarakat kota.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com