Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Amnesia Anak Bangsa Diterpa Pembangunan

Kompas.com - 03/06/2012, 03:11 WIB

Rene L Pattiradjawane

Dua puluh tiga tahun lalu, dunia dicengangkan pembantaian unjuk rasa di Lapangan Tiananmen, di depan Kota Terlarang yang menjadi pusat kehidupan kaisar-kaisar Dinasti Qing sebelum berdirinya RRC tahun 1949. Korban bergelimpangan di sekitar Lapangan Tiananmen, tidak ada yang tahu berapa jumlah korban yang mati sampai sekarang.

Korban berjatuhan setelah penguasa Partai Komunis China (PKC) memerintahkan militer membubarkan pengunjuk rasa, yang jumlahnya pernah melebihi satu juta orang menjelang akhir Mei 1989.

Selama lebih dari dua dekade, pembantaian gerakan prodemokrasi di Lapangan Tiananmen nyaris tidak berbekas. Kecuali dua hal yang selalu melekat pada peristiwa tersebut.

Pertama, para pemimpin mahasiswa yang masuk dalam daftar 21 orang paling dicari oleh penguasa Beijing. Mereka dituduh memicu insiden yang oleh pemimpin China paling berpengaruh dalam sejarah modernisasi RRC, Deng Xiaoping, disebut sebagai fan geming baoluan (kerusuhan kontra-revolusioner). Generasi Tiananmen 1989 ini bahkan tidak ada yang mau menggugat dan mengingat lagi peristiwa berdarah tersebut.

Kedua, orang berbaju putih yang disebut dunia sebagai Manusia Tank. Fotonya menjadi legenda, saat dia berdiri mencegah lajunya kolom tank T-59 Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) pada 5 Juni 1989. Hingga saat ini tidak ada yang tahu, bahkan Pemerintah China, siapa ”Manusia Tank” ini.

Peristiwa Berdarah Tiananmen tahun 1989 bagi China adalah seperti amnesia. Tiba-tiba saja tidak ada orang yang ingat apa yang terjadi pada malam 3-4 Juni 1989 itu.

Bagi kebanyakan rakyat China, peristiwa berdarah ini hanya peristiwa lokal Beijing dan tidak berdampak terhadap mereka. Tidak banyak yang memahami kalau peristiwa berdarah tersebut mengubah jalannya China dan dunia.

Botol kecil

Sejak pertengahan Mei 1989, ribuan orang di Beijing ataupun mahasiswa dan pekerja dari seluruh China bergerak ke satu titik, Lapangan Tiananmen. Pemandangan di stasiun kereta api di seluruh China mengingatkan suasana pada masa Revolusi Kebudayaan, gerakan rektifikasi politik terbesar di dunia.

Lapangan Tiananmen, yang dipenuhi oleh demonstrasi sekitar 3.000 mahasiswa untuk mengenang mendiang Sekretaris Jenderal PKC Hu Yaobang pada 14 Mei 1989, berubah drastis menjadi kerumunan ratusan ribu orang. Mogok makan dimulai oleh mahasiswa yang mendirikan tenda-tenda di tengah Lapangan Tiananmen.

Kementerian Kereta Api China melaporkan, lebih dari 60.000 mahasiswa ataupun pekerja menggunakan 165 kereta api tiba di Beijing. Minggu ketiga Mei 1989, lautan manusia memenuhi Lapangan Tiananmen. Berbagai golongan dan lapisan masyarakat ada di sana, mulai dari pelajar, mahasiswa, pekerja, sampai biksu.

Mereka sudah muak dengan kekuasaan komunisme dan perilaku korup pejabatnya. Untuk pertama kali dalam sejarah modern kekuasaan komunisme di China sejak tahun 1949, legitimasi PKC ditantang mahasiswa yang menuntut penerapan demokrasi untuk seluruh China.

Petinggi PKC dihina mahasiswa melalui pawai alegori dan poster-poster. Deng Xiaoping sebagai pemimpin yang berpengaruh dipanggil ”Si Botol Kecil” karena nama Xiaoping dalam intonasi yang berbeda dalam bahasa Mandarin juga berarti ’botol kecil’. Dialog dengan Perdana Menteri Li Peng pun diladeni oleh mahasiswa menggunakan piyama di Balai Agung Rakyat.

Diburu penguasa

Kekuasaan komunisme yang paling besar di dunia pun kehilangan muka. Deng Xiaoping dan penguasa PKC akhirnya memutuskan menggunakan kekuatan militer dan memberlakukan undang-undang darurat. Pengunjuk rasa ditumpas dan darah mengalir di seluruh fondasi semen Lapangan Tiananmen.

Pemimpin mahasiswa yang membentuk sejumlah organisasi dan federasi solidaritas unjuk rasa Lapangan Tiananmen diburu. Mereka dimasukkan dalam daftar 21 orang yang paling dicari penguasa Beijing. Mereka semua sembunyi di seluruh pelosok daratan China, menunggu sampai lebih dari 10 bulan untuk kemudian diselundupkan ke luar RRC.

Nama-nama yang 23 tahun terkenal, seperti Chai Ling (Universitas Beijing), Feng Congde (Universitas Beijing), Li Lu (Universitas Nanjing), Wuer Kaixi (IKIP Beijing), ataupun Wang Dan (Universitas Beijing), sekarang menghilang di tengah deru globalisasi. Chai Ling dan Feng Congde menikah dan melarikan diri ke Paris, Perancis, tetapi pasangan ini kemudian cerai dan tinggal di Amerika Serikat.

Li Lu memperoleh tiga gelar sekaligus dari Universitas Columbia, AS. Dia bekerja sebagai pengusaha modal ventura dan mendirikan perusahaan Himalaya Capital Management, bekerja dengan orang kaya AS Warren Buffet. Di Lapangan Tiananmen 23 tahun lalu, Li ikut mogok makan sebagai bentuk protes ketika itu.

Wuer Kaixi kini tinggal di Taiwan, menikah dan punya dua anak. Keturunan suku minoritas Xinjiang ini adalah salah satu pemimpin mahasiswa yang menggunakan piyama ketika bertemu PM Li Peng, setelah berkali-kali dirawat di rumah sakit karena mogok makan.

Wang Dan sempat dipenjara empat tahun setelah Peristiwa Tiananmen 1989. Kemudian ia keluar dari RRC dan menyelesaikan pendidikan doktor di Universitas Harvard, selanjutnya mengajar di Universitas Tsing Hua, Taiwan. Di luar kesibukannya, Wang masih tetap meneruskan perjuangannya soal demokrasi di China.

Setelah 23 tahun, perubahan pesat di China dengan pertumbuhan ekonomi yang masif berhasil mengangkat ratusan juta orang keluar dari kemiskinan. Tuntutan mahasiswa ketika itu memang belum tercapai, entah rakyat China atau pemimpinnya terkena amnesia. Karena pertanyaannya, apakah keberhasilan pembangunan ekonomi harus diikuti dengan pembantaian anak bangsa?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com