Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kemarahan Iringi Vonis Seumur Hidup Mubarak

Kompas.com - 03/06/2012, 02:54 WIB

Kairo, Kompas -  Kemarahan warga Mesir meluap seusai hakim Ahmed Refaat menetapkan hukuman bagi mantan Presiden Mesir Hosni Mubarak dalam sidang di Akademi Kepolisian Kairo, Mesir, Sabtu (2/6). Setelah melewati 49 sidang selama 10 bulan, Refaat menjatuhkan vonis seumur hidup bagi mantan orang kuat Mesir yang berkuasa selama hampir 30 tahun itu. 

Vonis dalam sidang yang disebut media Mesir sebagai ”pengadilan abad ini” itu tidak cukup memuaskan keluarga korban tewas dalam 18 hari revolusi rakyat yang mengantar kejatuhan Mubarak. Bentrok fisik pun tak terelakkan.

Wartawan Kompas Musthafa Abd Rahman dari Kairo melaporkan, di dalam ruang sidang sempat terjadi perkelahian antara keluarga korban yang didukung pengacara mereka dan sejumlah pengacara Mubarak.

Massa berteriak ”Rakyat ingin pengadilan yang bersih!” saat baku pukul dengan ratusan aparat keamanan yang berjaga di dalam ruang sidang. Akibat perkelahian itu, sejumlah orang luka-luka.

Kericuhan juga terjadi di luar ruang sidang. Keluarga korban melemparkan batu dan sepatu ke arah barisan aparat keamanan di luar kompleks akademi kepolisian. Namun, ribuan aparat keamanan gabungan polisi dan tentara yang menjaga ketat kompleks tersebut berhasil mengendalikan keadaan.

Pemerintah Mesir mengantisipasi ketidakpuasan rakyat atas vonis hakim dengan menyebarkan sedikitnya 5.000 aparat keamanan untuk mengamankan kompleks akademi kepolisian. Mereka juga mengerahkan 20 kendaraan pengangkut pasukan dan 30 kendaraan lapis baja untuk mengawal kendaraan yang membawa Mubarak dan para tersangka lain.

Mubarak tiba di kompleks akademi kepolisian dengan helikopter dari rumah sakit militer yang menjadi tempat dia ditahan selama 10 bulan terakhir. Dengan mengenakan kacamata hitam, Mubarak dinaikkan ke tempat tidur beroda dan dibawa ke ruang sidang. Dia bergabung dengan tersangka lain, yakni dua putranya, Alaa dan Gamal, mantan Menteri Dalam Negeri Habib al-Adly, serta enam deputi menteri yang bertanggung jawab atas masalah keamanan.

Dalam sidang yang berlangsung hanya sekitar setengah jam itu, Refaat menyatakan Mubarak (84) dan Al-Adly bersalah. Keduanya dinyatakan terbukti berkonspirasi memerintahkan pembunuhan demonstran selama unjuk rasa. Al-Adly menerima vonis yang sama dengan Mubarak, yaitu hukuman seumur hidup.

”Pengadilan menjatuhkan hukuman bagi Hosni Mubarak berupa hukuman seumur hidup dengan tuduhan terlibat dalam pembunuhan dan percobaan pembunuhan,” ujar Refaat.

Selama revolusi rakyat yang berlangsung dari 25 Januari sampai 11 Februari 2011—saat Mubarak akhirnya mundur—sedikitnya 850 mahasiswa dan pengunjuk rasa lain tewas.

Namun, hakim membebaskan enam deputi menteri dari tuduhan pembunuhan dengan alasan kurangnya bukti. Mubarak bersama kedua putranya juga dibebaskan dari tuduhan kedua, yaitu korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri.

Meski bebas dari tuduhan korupsi, Alaa dan Gamal masih menghadapi dugaan melakukan perdagangan orang dalam (insider trading). Mereka dituduh mendapat keuntungan 2 miliar pound Mesir dengan berkonspirasi membeli 80 persen saham Bank Al Watany Mesir tanpa menyatakan jumlah saham mereka kepada pengelola bursa.

Reaksi

Keputusan hakim yang membebaskan enam pejabat keamanan dari tuduhan pembunuhan mengecewakan banyak pihak. Berlawanan dengan harapan rakyat, pembebasan para pejabat polisi dan militer itu memperlihatkan bahwa militer dan polisi, yang sekarang dibenci rakyat, masih berkuasa dan tak ikut jatuh bersama Mubarak.

”Sudah cukup berbicara, kami ingin eksekusi!” teriak massa di luar ruang sidang. Sebagian massa, terutama keluarga korban, menginginkan Mubarak dijatuhi hukuman mati. Hanafi el-Sayed, yang putranya tewas pada awal revolusi, sengaja datang ke Kairo dari Alexandria untuk menyaksikan putusan bagi Mubarak.

”Saya ingin hukuman mati untuk Mubarak. Jika lebih ringan dari itu, kami tak akan diam dan revolusi pecah lagi,” ujarnya.

Kelompok Islamis dan aktivis demonstran yang menjatuhkan Mubarak menyerukan protes massal terhadap putusan ini. Ikhwanul Muslimin (IM), yang kini menguasai parlemen Mesir, menuntut pengadilan ulang terhadap Mubarak dan pengikutnya.

”Jaksa penuntut tidak menjalankan tugasnya mengumpulkan bukti yang cukup untuk menghukum mereka yang membunuh para demonstran,” ujar Yasser Ali, juru bicara kandidat presiden Mesir dari IM, Muhammad Mursi.

Sebelum hakim menjatuhkan vonis, Mursi berjanji memastikan bahwa Mubarak dipenjara. ”Tak mungkin membebaskan Mubarak. Saya berjanji kepada para korban, hak mereka akan dipulihkan sepenuhnya,” ujar Mursi.

Pejabat senior IM, Mahmud Ghozlan, menyerukan protes massal menentang keputusan ini. ”Jika para komandan polisi tidak bersalah, siapa yang membunuh para pengunjuk rasa?” ujarnya.

Sikap berbeda diperlihatkan kandidat presiden pesaing Mursi, yaitu Ahmed Shafik. Menurut Shafik, mantan panglima angkatan udara dan perdana menteri terakhir di era Mubarak, hukuman atas Mubarak membuktikan tak ada orang yang berada di atas hukum.

”Kami tak berhak mengomentari keputusan pengadilan. Namun, vonis ini mengindikasikan, tak ada yang dapat menghindar dari pemeriksaan jika hukum menghendaki,” ujar kandidat presiden yang dianggap sebagai kepanjangan rezim Mubarak ini.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Rodham Clinton tidak secara langsung berkomentar menanggapi hukuman seumur hidup terhadap Mubarak. Clinton hanya mengatakan, nasib Mubarak ”Bergantung pada rakyat Mesir, sistem pengadilan, dan pemerintah mereka.” (AP/AFP/REuters/was)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com