Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mali Makin Labil

Kompas.com - 01/06/2012, 02:09 WIB

Bamako, Kamis - Mali di Afrika Barat, yang pernah menjadi model demokrasi terbaik di ”Benua Hitam”, kini makin tak stabil. Negara itu pecah setelah suku Tuareg dan kelompok islamis mendeklarasikan negara baru di bagian utara Mali. Namun, Tuareg dan kubu islamis pun kini terjebak pertikaian ideologis.

Berbagai negosiasi di antara dua kelompok pemberontak itu berakhir dengan perpecahan. Menurut Associated Press, Kamis (31/5), suku Tuareg yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pembebasan Azawad (FMLA) terlibat pertikaian ideologis tajam dengan kubu islamis Ansar Dine.

Mereka gagal menentukan dasar hukum negara setelah membentuk Negara Islam Azawad, yang terpisah dari rezim Bamako, Sabtu lalu. Kelompok separatis FMLA berjuang demi kemerdekaan, namun menginginkan negara sekuler. Ansar Dine, sayap Al Qaeda di Afrika Barat, ingin menerapkan syariat Islam.

FMLA ingin negara baru meratifikasi konvensi-konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Lain halnya dengan Ansar Dine, yang berafiliasi dengan Al Qaeda di Afrika Utara (AQIM), justru ingin memaksakan bentuk negara Islam ekstrem.

”Kami tidak menerima hukum syariat. Kami tak pernah mengimpikannya,” kata Mossa Aq Attaher, juru bicara FMLA. ”Ada juga masalah yang terkait dengan konsep-konsep tertentu, seperti bagaimana wilayah ini akan diatur. Kami menolak adanya gerakan dari luar Azawad masuk dan mengendalikan sebagian dari negara ini,” kata Aq Attaher.

AQIM berawal dari Aljazair, tetapi mulai eksis di Mali sejak 2003. Sel teroris ini terkenal karena mengendalikan basis-basisnya di Mali dari kawasan hutan dan padang pasir. Namun, sejak pemberontak berhasil merebut kota-kota utama, seperti Kidal, Gao, dan Timbuktu di Mali utara, AQIM tidak pernah muncul secara terbuka di kota-kota besar.

Oumar Ould Hamala, seorang pejuang Ansar Dine di Timbuktu, membenarkan proses negosiasi dengan FMLA tidak mencapai titik temu. Kondisi itu kembali membuat situasi perpolitikan Mali menjadi kacau dan semakin labil.

Contoh demokrasi

Mali, yang pernah dianggap sebagai contoh demokrasi di Afrika, masuk ke jurang kekacauan setelah tentara mengudeta Presiden Amadou Toumani Toure, Maret lalu. Toure dianggap terlalu lemah dan tak sanggup mengendalikan kekuasaan.

Kudeta ini memicu kekosongan kekuasaan di bagian utara negeri, yang dimanfaatkan kelompok pemberontak untuk bergerak menguasai kota-kota utama dan mendeklarasikan negara baru.

Krisis tersebut membuat Uni Afrika berencana mengajukan kasus Mali ke Dewan Keamanan PBB untuk mencegah krisis berkembang lebih buruk.

(AP/AFP/REUTERS/CAL)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com