Jakarta, Kompas -
Hal itu diungkapkan Umar dalam sidang dengan acara nota pembelaan terdakwa di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat, Kamis (31/5).
”Tanpa memberi tahu, Dulmatin sudah membeli tiket dan saya disuruh ikut,” kata Umar. Umar akhirnya ikut ke Bali karena merasa berutang budi kepada Dulmatin. ”Dia membantu saya secara ekonomi,” tuturnya.
Menurut Umar, rencana peledakan bom Bali pertama kali disampaikan Muklas di Sukoharjo, Jawa Tengah. Umar mengaku tidak menyetujui rencana itu.
Sampai di rumah kontrakan di Denpasar, menurut Umar, ia justru marah dengan Imam Samudera yang telah mempersiapkan bahan peledak sebanyak 950 kilogram. Peracikan bahan peledak dilakukan Sawad.
”Saya hanya membantu Sawad meramu bahan peledak kurang dari 50 kilogram,” kata Umar. Bahan peledak itu sisa yang belum diracik. Ia membantu Sawad karena lelah dan tegang.
Dalam pembelaannya, Umar meminta majelis hakim mempertimbangkan hukuman sesuai dengan kesalahannya. Tuntutan jaksa penuntut umum seumur hidup dinilai Umar terlalu berat.
Sebelumnya, jaksa menuntut Umar dengan hukuman penjara seumur hidup. Umar dinilai jaksa, antara lain, terlibat kasus bom Bali tahun 2002 dengan meracik bom dan terlibat perencanaan pelatihan militer di Aceh.
Dalam tuntutan, terdakwa antara lain dinyatakan terbukti bersalah melanggar Pasal 15 juncto Pasal 9 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Pasal 340 KUHP.
Umar dinilai terlibat menguasai atau menyimpan senjata api saat kembali ke Indonesia dari Filipina tahun 2009. Umar kembali ke Indonesia dari Filipina setelah pelarian sejak kasus bom Bali 2002 untuk mengurus paspor dan hijrah ke Pakistan.