Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dualisme Kehidupan Amat Kontras di Jerusalem

Kompas.com - 19/05/2012, 16:11 WIB
Simon Saragih

Penulis

JERUSALEM, KOMPAS.com - Pekan ini Israel menandai Hari Jerusalem untuk merayakan reunifikasi Kota Suci itu. Akan tetapi 45 tahun berlalu, kualitas kehidupan sangat kontras di dua sisi kota tersebut. Warga Yahudi mayoritas hidup di Jerusalem Barat dan keturunan Arab di Jerusalem Timur.

Demikian diberitakan di kantor berita Agence France Presse (AFP), Sabtu (19/5/2012). Dituliskan, status Jerusalem adalah salah satu yang paling sensitif dalam konflik Palestina dan Israel. Israel merebut sisi timur kota ini pada perang tahun 1967 dan kemudian menganeksasi. Ini sebuah langkah yang tidak pernah disetujui oleh komunitas internasional.

Menurut AFP, Israel menganggap seluruh wilayah Jerusalem sebagai kota yang tidak pernah bisa dibagi dan ini berlaku abadi. Di sisi lain Palestina menginginkan Jerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina. Tidak ada tembok pembatas di kota itu. Namun warga Palestina hidup di sisi timur dengan kondisi kehidupan yang buruk, kontras dengan keadaan di sisi barat kota itu.

Di sisi barat ada bus umum yang dikelola Egged dengan sistem tiket elektronik dan melaju di jalan-jalan mulus. Ada tanaman hijau dan taman umum, tempat pembuangan sampah yang dibersihkan secara rutin. Di sisi Timur warga terpaksa menumpuk sampah dan kemudian membakarnya untuk mencegah sumber penyakit serta menghindari bau busuk. Ada sekolah yang padat siswa dan kadang membuat para siswa terpaksa belajar di tenda-tenda. Terlihat pula anak-anak bermain di jalanan yang tak ditata rapi.

"Jika Anda berjalan selama 10 menit di Jerusalem Timur dan 10 menit di Jerusalem Barat, perbedaan itu jelas terlihat,"kata Ziad Hammouri, seorang pengacara dan Ketua Jerusalem Centre for Social and Economic Rights (ACRI). Mahmud Khweis (39), hidup di Bukit Jaitun, mengatakan tidak pernah melihat kehadiran petugas pembersih jalan hingga warga Yahudi meninggali wilayah itu belakangan.

"Jalan-jalan yang ada jelas baik jika dibandingkan dengan sebuah kamp pengungsi tetapi jika saya membandingkannya dengan jalan-jalan di Rehavia di Jerusalem Barat, walau kami dikenakan pajak yang sama bebannya, maka jalan-jalan di sisi timur jauh di bawah standar."

Warga Palestina juga hanya bisa membangun 17 persen dari total wilayah di Jerusalem Timur dan sisanya untuk permukiman Yahudi lengkap dengan taman-taman, sebagaimana dikatakan ACRI. ACRI menambahkan, andai pun ada hak untuk membangun, proses perizinannya sulit didapat oleh warga di sisi timur.

Sepanjang periode 2005 - 2009 hanya 13 persen izin pembangunan diberikan untuk warga Palestina di seluruh wilayah Jerusalem. Ada 20.000 rumah yang dibangun di Jerusalem Timur tanpa izin, yang kondisinya tidak dilengkapi dengan sarana pendukung. "Bangunan ini rawan penggusuran," kata Ronit Sela dari ACRI. Bangunan-bangunan itu tidak memiliki keterkaitan dengan saluran air, sambungan telepon dan listrik secara resmi.

Wali Kota Jerusalem, Nir Barkat, mengakui semua itu dan mengatakan akan memperbaiki keadaan. Wakil Wali Kota Jerusalem, Naomi Tsur, mengatakan sebuah program berbiaya 130 juta dollar AS sedang dicanangkan untuk pembangunan jalan di sisi timur, juga untuk pembangunan jaringan kereta yang melayani warga Arab dan Palestina.

Jerusalem, kata Naomi Tsur, terbelenggu faktor geo-politik yang terkandung tetapi pemerintahan kota akan mencoba mengatasi itu. "Kami sedang mencoba mengelola kota dari sisi tanggung jawab sebuah pemerintahan kota," katanya. "Kami akan mencoba mengubah sudut pandang dunia soal kota ini dan mencoba memperlakukannya sebagai sebuah kota dimana semua warga bisa hidup dan anaknya bisa bersekolah leluasa."

Dia mengakui ada keadaan serba sulit bagi pemerintahan di kota ini dimana warga di sisi timur menuduh pemerintahan berpihak ke warga dari sisi barat. "Di sini jika kita melakukan sesuatu selalu salah, jika tidak melakukan apa pun juga salah," lanjut Wakil Wali Kota ini. Meir Margallit, seorang anggota dewan kota dari Meretz, partai beraliran kiri Israel, menuduh praktik diskriminasi yang dilakukan pemerintahan kota Jerusalem. Juga terjadi ketidakseimbangan alokasi anggaran perkotaan.

"Ada 1,2 miliar dollar AS anggaran tahun lalu untuk sisi Barat dan 124 juta dollar AS untuk sisi timur pada tahun 2011. Ini adalah wujud diskriminasi," kata Margallit. "Pemerintah kota berusaha mempersulit kehidupan orang Palestina sehingga terdorong untuk hengkang. Jawaban untuk masalah ini mudah saja. Pecah saja kota ini, isu yang selalu saya serukan selama lebih dari 45 tahun."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com