Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Helipad Jadi "Wisata" Bencana

Kompas.com - 14/05/2012, 04:17 WIB

Yana, lelaki paruh baya warga Warung Jambu, Kota Bogor, berkali-kali istigfar saat melihat kantong jenazah dipindahkan dari helikopter Puma ke helikopter Bolco. Jenazah itu lalu diterbangkan ke Halim Perdanakusuma dari lapangan helipad (tempat pendaratan helikopter) darurat di Pasir Pogor, Cijeruk, Kabupaten Bogor, Minggu (13/5).

Ada ratusan, bahkan ribuan orang, berduyun-duyun mendekati helipad darurat yang digunakan untuk proses evakuasi korban jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak, Rabu lalu. Delapan awak pesawat dan 42 penumpang berada dalam pesawat yang sedang demo terbang dari Halim Perdanakusuma ke Palabuhanratu.

Simpati ratusan warga berbaur dengan keinginan untuk menyaksikan hiruk-pikuk proses evakuasi korban jatuhnya pesawat Sukhoi. Tak pelak hal ini mengakibatkan lapangan di samping SMP 1 Cijeruk itu dipenuhi warga. Mereka juga datang bersama keluarga.

Basuki (47), warga Jakarta Selatan, bersama putranya Toriq (11), misalnya, terlihat menaiki undakan tanah menuju kebun teh di sekitar helipad. Ia hanya ingin melihat helikopter-helikopter yang bergantian terbang dan mendarat di lapangan itu. ”Anak saya yang mengajak. Katanya mau lihat helikopter. Kemarin-kemarin cuma lihat di televisi aja,” tutur Basuki.

Kebetulan hari itu Basuki sedang berkunjung ke rumah kerabatnya di Batu Tulis, Bogor Selatan, Kota Bogor. Pagi-pagi ia memacu sepeda motor menuju Cijeruk. Jarak yang ditempuh sebenarnya tidak terlalu jauh, tetapi beberapa kilometer menjelang lokasi helipad di Pasir Pogor, Desa Cipelang, Kecamatan Cijeruk, arus lalu lintas begitu padat.

Mendekat lokasi

Beberapa orang mencoba mendekat. Mereka tak peduli dengan tebaran debu akibat saputan angin baling-baling helikopter. Semakin sore, jumlah warga yang menonton semakin banyak hingga memadati lereng bukit ke arah lapangan tempat proses evakuasi dan distribusi logistik buat petugas.

Keramaian itu dimanfaatkan oleh para pedagang kaget. Ahmad (32), pedagang makanan di depan jalan masuk menuju lapangan, mengaku omzetnya naik dua kali lipat. Biasanya dalam sehari ia bisa dapat Rp 200.000. Kemarin lebih ramai karena hari Minggu dan orang-orang banyak datang karena liburan.

Namun, ”wisata” di tengah bencana itu juga membawa dampak negatif. Arus lalu lintas menuju lokasi begitu padat sehingga sesekali menghambat laju kendaraan operasional dalam proses evakuasi dari Posko Cipelang dan helipad. Para pengunjung kerap memarkir kendaraan di pinggir jalan.

Petugas lalu memasang palang dari batang bambu di ruas jalan samping SMP 1 Cijeruk yang merupakan akses dari jalan menuju lapangan Pasir Pogor. Hal ini dimaksudkan agar kendaraan yang tidak berhubungan dengan proses evakuasi tidak memadati area sekitar lapangan.

Keberadaan ribuan warga yang memadati sekeliling lapangan memaksa petugas bekerja ekstra keras. Mereka berusaha menghalau warga agar tidak semakin merangsek ke dalam lapangan. Hal itu agar tidak mengganggu proses estafet pemindahan kantong jenazah dari helikopter Puma ke helikopter lain yang akan berangkat ke Halim Perdanakusuma.

Berkali-kali pula petugas dari TNI AU yang berjaga di sekitar lapangan memperingatkan warga yang merokok untuk mematikan puntungnya. ”Rokoknya dimatikan Pak, nanti kalau ada percikan api, helikopter ini bisa meledak,” seru seorang petugas.

Menurut Kepala Polres Bogor Ajun Komisaris Besar Hery Santoso, sekitar 120 personel kepolisian dikerahkan untuk mengatur arus lalu lintas di sekitar wilayah evakuasi.

Aktivitas kemanusiaan

Rohmat (31), guru honorer kelas III di SD Sindanglaya, mengaku teringat masa tahun 1990-an saat masih bersekolah di wilayah Loji di bawah kaki Gunung Salak. Saat ada helikopter melintas di atas sekolahnya untuk melakukan evakuasi, tanpa menghiraukan gurunya, Rohmat langsung keluar untuk melihat deru suara tersebut.

Sekarang, 20 tahun telah berlalu, giliran Rohmat menjadi guru di tempat dia bersekolah, SD Sindanglaya. Kamis lalu, saat evakuasi berlangsung dan helikopter hilir mudik di atas sekolahnya, banyak anak didiknya keluar untuk melihat helikopter yang melintasi sekolah mereka untuk mengevakuasi korban.

Rohmat tak bisa marah dan hanya bisa tersenyum, apalagi kini halaman sekolah mereka dijadikan markas evakuasi Pos Loji. Sebagian ruang kelas turut dipakai. Ruang kelas IV dipakai sebagai tempat tidur para anggota Brimob yang bertugas di situ. Ruang kelas I dan II dipakai Dompet Dhuafa Disaster Management Center untuk Journalist Center, yang menyediakan layanan bagi wartawan dan pekerja media.

Menginjak hari ketiga, Sabtu pagi, sebagian anak-anak dan semua guru tetap hadir di sekolah. Namun, tak ada aktivitas belajar-mengajar. Nining, salah seorang guru, mengatakan, sekolah tidak bisa meliburkan anak didik. Apabila sekolah meliburkan anak didik, pihaknya bisa ditegur oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor.

Namun, untuk melanjutkan kegiatan belajar-mengajar, kata Rohmat, hal itu sulit. Selain anak didik tidak lagi bisa berkonsentrasi dengan aktivitas helikopter yang melakukan evakuasi, sebagian lokasi sekolah juga digunakan untuk aktivitas kemanusiaan. Satu ruang kelas dipakai untuk tempat tidur anggota Brimob di waktu malam dan dua ruang kelas selama 24 jam dipakai untuk tempat bekerja dan istirahat wartawan, sukarelawan, dan anggota SAR.

Rohmat mengatakan, kalau hingga Senin halaman sekolah masih dijadikan posko evakuasi, kegiatan-belajar mengajar dibagi dua kali. Kelas I dan II masuk pagi dan kelas III, IV, V masuk siang.

”Paling itu strategi kami agar anak-anak tidak terlalu ketinggalan pelajaran dan bisa mengikuti ujian sekolah dengan baik,” ujar Rohmat. (GAL/CAS/ICH)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com