Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus 3 TKI Lombok Menyisakan Kejanggalan

Kompas.com - 02/05/2012, 12:15 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Kematian tiga orang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal NTB di Malaysia masih menyisakan kejanggalan. Migrant Care bersama Kontras serta keluarga korban pun membeberkan kejanggalan-kejanggalan kematian Herman, Abdul Kadir Jaelani, dan Mad Noor.

Adapun yang masih dirasa aneh atas kematian tiga TKI tersebut yakni informasi tentang kematian yang diperoleh dari inisiatif keluarga dengan mencari informasi mengenai keberadaan TKI tersebut.

"Mestinya KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) adalah pihak pertama yang mendapat informasi secara resmi dari pemerintah Malaysia untuk kemudian diteruskan kepada pihak keluarga," ujar Koordinator Migrant Care Anis Hidayah saat memberikan keterangan pers di Kontras, Jakarta, Rabu (2/5/2012).

Kejanggalan lain yang ditemui kata Anis adalah saat pihak keluarga yang ada di Malaysia turut memandikan dan mengkafani jenazah mendapati berbagai macam ketidakwajaran pada ketiga jenazah. Ada jahitan yang hampir dilakukan di seluruh tubuh korban, dari kepala, mata hingga kaki.

"Padahal pihak RS Port Dickson menyatakan hanya melakukan pengecekan 'post mortem' (tidak melakukan pembedahan terhadap jenazah)," lanjut Anis.

Tidak hanya itu, pemulangan jenazah hanya diurus oleh agen pengurusan jasa jenazah 'Poh Soon Professional Funeral Servise'. Bahkan, semua biaya ditanggung keluarga sebesar Rp 13 juta per jenazah.

"Tim yang dibentuk Kemenlu (Kementerian Luar Negeri) setelah adanya protes keluarga korban menegaskan buruknya kinerja KBRI dalam melayani dan melindungi buruh migran," kata Anis.

Inisiatif keluarga untuk melakukan otopsi ulang yang dipersulit dengan birokrasi tidak pasti di tingkat kepolisian lanjut Anis juga menambah daftar kejanggalan. Selama otopsi berlangsung keluarga tidak mendapatkan penjelasan mengenai fakta yang terjadi pada ketiga korban. Hasil otopsi resmi belum disampaikan kepada pihak keluarga, namun sudah mengumumkan ke publik.

"Pemerintah terkesan telah selesai bertanggung jawab setelah mengumumkan hasil otopsi. Sementara keluarga mendapatkan fakta yang berbeda dengan apa yang disampaikan secara resmi oleh pemerintah," jelasnya.

Oleh karena itu, menurut Anis, Kontras, Koslata, dan Migrant Care akan mendampingi keluarga untuk menuntut pertanggungjawaban pemerintah. "Kita komitmen harus menang. Harus mendidik pemerintah agar kasus serupa tidak terulang," ujar Koordinator Kontras, Haris Azhar.

"Mereka adalah warga negara dan manusia. Tidak hanya dijamin di status di dokumen," tambahnya.

Selanjutnya hasil temuan kejanggalan tersebut akan dilaporkan ke Komnas HAM dan Kemenlu hari ini. Turut hadir dalam konferensi tersebut keluarga dari masing-masing korban. H Ma'sum (ayah Herman), Tohri (kakak Abdul Kadir Jaelani), Nurmawi (Kakak Mad Noor). (Eri Komar Sinaga)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

    Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

    Nasional
    Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

    Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

    Nasional
    Golkar: 'Presidential Club' Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

    Golkar: "Presidential Club" Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

    Nasional
    Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

    Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

    Nasional
    Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

    Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

    Nasional
    Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di 'Presidential Club'

    Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di "Presidential Club"

    Nasional
    Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk 'Presidential Club', Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

    Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk "Presidential Club", Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

    Nasional
    Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

    Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

    Nasional
    Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

    Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

    Nasional
    Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

    Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

    Nasional
    'Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya'

    "Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya"

    Nasional
    Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

    Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

    Nasional
    Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

    Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

    Nasional
    Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

    Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

    Nasional
    Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin:  Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

    Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin: Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com