Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penyair Perancis Desersi di Salatiga

Kompas.com - 29/04/2012, 10:03 WIB

Kecuali Belanda karena jelas-jelas menjajah, orang asing yang bertandang ke Nusantara di masa silam patut memperoleh perhatian khusus. Apalagi kalau di negeri asalnya dia adalah sosok terkenal, seperti penyair Perancis Arthur Rimbaud (1854-1891).

Selain penjajah, sejak zaman dulu Nusantara juga menarik perhatian seniman dan sastrawan Eropa. Tapi berlainan dengan penjajah, mereka datang cuma untuk mengagumi Nusantara, untuk mencari ilham bagi karya-karya mereka; dan untuk mengecap kehidupan lain, kehidupan yang katakanlah lebih eksotis.

Di negeri asal mereka adalah penyair atau seniman yang sudah terkenal.

Salah satu seniman yang datang ke Nusantara adalah Arthur Rimbaud, penyair Perancis yang hidup antara tahun 1854 sampai 1891, jadi dia sudah meninggal dunia ketika berumur 37 tahun.

Siapa Arthur Rimbaud? Kenapa dia melawat ke Nusantara? Kapan dan ke mana saja dia persisnya di Nusantara, apa yang dikerjakannya dan apa yang kita ketahui tentang keberadaannya di Hindia Belanda? Adakah hal ini berpengaruh pada karya-karyanya?

Mari kita berkenalan dulu dengan Arthur Rimbaud lewat salah satu sajaknya yang berjudul “Si Miskin Melamun”.

Si Miskin Melamun
Mungkin kelak bagiku
Satu malam menanti
Dengan tenang aku bisa minum-minum
Di satu kota tua
Lantas aku kan mati
Lebih puas sebab aku sabar
Andai sakitku hilang
Andai di kantung ada uang
Arah mana kan kujelang?
Negeri anggur atau utara
Ah melamun, bikin malu
Sebab kehilangan melulu
dan jika aku kembali
Jadi kelana yang dulu
Tidak bakal lagi terbuka
Pondok hijau itu bagiku

Sajak itu diterjemahkan oleh penyair Indonesia Wing Kardjo. Dari puisi di atas bisa dibaca Rimbaud sudah menulis tentang “jadi kelana” atau “arah mana kan kujelang”.

Imaji tidak umum

“Arthur Rimbaud adalah penyair paling revolusioner dalam sejarah sastra Prancis,” demikian Graham Robb, sejarawan Inggris penulis biografi Rimbaud kepada Radio Nederland.

Menurut Robb, dalam sastra Perancis, bahkan sastra Eropa tidak ada karya sastra seperti karya Rimbaud yang dihasilkannya selama lima atau enam tahun. Rimbaud adalah penulis prosa liris pertama yang menyeret zaman romantis Perancis ke wilayah baru.

Puisi dibuatnya menjadi wadah yang pas dan yang menyenangkan untuk pikiran-pikiran imajinatif. Yang luar biasa, demikian Graham Robb, ini semua dilakukannya ketika ia masih anak sekolah, untuk kemudian berhenti sama sekali.

Jadi Rimbaud tidak lama menulis puisi, tapi mengapa sajak-sajaknja disebut revolusioner? Graham Robb menekankan disiplin ketat yang diterapkan Rimbaud dalam berkarya, walaupun itu tidak lama. Dalam keadaan itu, si penyair ini masih bisa membangun kaitan yang tak diduga-duga.

Ia juga membuat imaji-imaji tidak umum sebagai dasar puisinya.

Periode sebelum Rimbaud yang penting adalah gagasan, dari gagasan itu tercipta puisi. Puisi yang dihasilkan memang cerdas dan indah. Tapi Rimbaud justru memutarbalikkannya. Yang penting puisinya. Puisi harus berkembang sendiri, tanpa perlu dipengaruhi gagasan.

Kalau akhirnya muncul gagasan, maka itu cuma hasil sampingan yang biasanya juga muncul di pikiran pembacanya.

Dunia sini versus dunia sana

Okke Kusumasumantri Zaimar, gurubesar sastra Perancis pada Universitas Indonesia di Depok, melihat paling sedikit ada dua ciri Rimbaud. Pertama Rimbaud adalah penyair aliran simbolisme atau aliran yang tidak transparan. Dia terpengaruh oleh Charles Baudelaire, perintis aliran ini dalam sastra Perancis. Aliran ini menganggap dunia sini pantulan dunia sana.

Dalam bahasa Indonesia ada kata mayapada yang menggambarkan dunia sini sebagai maya, sedangkan aslinya ada di dunia sana.

Rimbaud melihat sesuatu bukan sebagai realitas. Kalau toh dia melihat sesuatu itu realitas, maka yang dilihat adalah realitas yang kasar, yang tidak lembut. Mungkin karena dipengaruhi oleh kehidupannya. Di sinilah Okke Zaimar menunjuk pada ciri kedua Rimbaud, cirinya yang selalu memberontak.

“Terhadap segala macam dia berontak,” tegas Prof. Okke, “terhadap aturan, terhadap tradisi, terhadap kemapanan, dan tentu saja terhadap tradisi berpuisi”. Contohnya huruf hidup a hitam, e putih, i merah, u hijau, o biru. Sulit diikuti bayangan-bayangan seperti ini.

Mencari relevansinya untuk kita di Indonesia, Benedict Anderson, Indonesianis senior pensiunan gurubesar Cornell University di Amerika menekankan jiwa petualangan Rimbaud. “Dia tidak ingin tetap di Perancis, sehingga bisa menjadi selebriti karatan. Jiwanya petualang,” tegas profesor Anderson.

Dalam puisinya yang indah-indah, ditulis ketika masih berusia belasan tahun, Rimbaud memang sudah menyatakan ingin meninggalkan benteng-benteng Eropa untuk mencari dunia baru.

“Selain itu dia juga banyak menulis puisi tentang dunia yang masih belum diketahui orang”. Sebagai petualang, Rimbaud selalu mencari kesempatan untuk pergi. Kebetulan tentara kolonial Hindia Belanda KNIL sedang mencari tambahan pasukan karena Perang Aceh sudah dimulai.

Rimbaud pergi ke Belanda pada awal 1876 untuk menjalani latihan militer sebentar. Terus dia dikirim ke Jawa, ongkosnya ditanggung pemerintah kolonial. Rimbaud tahu betul dia akan berperang di Aceh sebagai tentara bayaran.

Sampai di Batavia pada bulan Juli 1876 Rimbaud bersama rombongan tentara bayaran lain masih harus menjalani latihan selama 10 hari, terus dikirim ke Semarang untuk latihan lebih lanjut, persisnya di Tuntang dekat Salatiga.

“Sampai sekarang tangsi itu masih ada,” tutur Anderson, “ tapi berubah jadi gedung kereta api”. Rimbaud tahan di situ selama dua minggu. Malam hari dia melarikan diri. Pemerintah kolonial marah sekali, karena sudah mengeluarkan banyak ongkos.

Rimbaud terus dicari, tapi dia bisa bersembunyi di tengah-tengah warga setempat selama dua bulan. Diam-diam dia kembali ke Semarang.

Di sana dia bertemu kapal Inggris yang sedang mencari tenaga tambahan. Dengan berpura-pura sebagai orang Inggris Rimbaud melamar jadi koki. Dia diterima dan boleh ikut berlayar ke Eropa, lewat Afrika Selatan terus ke Irlandia akhirnya kembali ke Perancis.

Dagang senjata

Jadi Rimbaud menetap di Nusantara selama tiga minggu sebagai prajurit dan mungkin dua bulan sebagai buron. Ben Anderson menegaskan Rimbaud tidak pro imperialisme. Sesudah pengalaman Asia ini dia menetap di Ethiopia dan Aden.

Tidak lagi menulis puisi, salah satu aktivitas Rimbaud adalah mencari senjata untuk raja kulit hitam untuk melawan imperialis Italia.

Itu berhasil, sehingga Ethiopia akhirnya bisa mengalahkan tentara Italia. Itulah kali pertama dan satu-satunya kasus pada abad 19 ketika orang Afrika bisa mengalahkan pasukan Eropa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com