Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Silakan Masuk, Peluang Menanti

Kompas.com - 13/04/2012, 04:46 WIB

Perjalanan selama 4,5 jam dari Yangon menuju Mawlamyine, Provinsi Mon, Myanmar, lancar tanpa kemacetan. Ruas jalan Bago-Thaton sudah tersedia tol dan sisa jalan lainnya masih lengang dari kendaraan. Infrastruktur jalan merupakan salah satu bentuk kesiapan Myanmar menjadi tujuan investasi.

aat menerima Duta Besar Indonesia untuk Myanmar Sebastianus Sumarsono di Mawlamyine (187 kilometer timur Yangon), Senin (2/4), Gubernur Provinsi Mon U Ohm Myint menyebutkan, perkebunan karet adalah salah satu sektor yang dikembangkan di lahan sekitar 40.000 hektar, sedangkan industri semen belum maksimal. Itu terlihat dari masih banyaknya bukit batu yang belum ditambang sebagai bahan baku utama semen.

”Pabrik semen kami siapkan di beberapa tempat. Kami mengundang perusahaan Indonesia untuk investasi. Sebaliknya, kami juga membutuhkan batubara dari Indonesia untuk pembangkit listrik. Kami ingin beli batubara Anda,” ujar U Ohm Myint sembari menjelaskan, pada tahun 1990-an, salah seorang putri mantan Presiden Soeharto pernah datang ke Mon untuk membangun pabrik semen, tetapi urung karena alasan yang tidak jelas.

Mon adalah satu dari 14 provinsi di Myanmar. Pelaksana Fungsi Ekonomi Kedutaan Besar RI untuk Myanmar Totok Prianamto, di Yangon, menyebutkan, setidaknya ada sepuluh bidang yang layak menjadi tujuan investasi pengusaha Indonesia di negara itu.

Pertama, bisnis jual-beli komoditas pertanian pangan, terutama beras dan kacang-kacangan. Kedua, perdagangan alat pertanian untuk agroindustri skala kecil dan menengah. Ketiga, investasi agrobisnis karena Myanmar masih akan membuka 200.000 hektar lahan kelapa sawit baru. Keempat, bisnis minyak dan gas untuk konsumsi domestik Myanmar yang masih rendah, yakni 60.000 barrel minyak dan 570 juta kaki kubik gas per hari.

Bidang kelima, eksploitasi tambang masih minim walaupun sudah teridentifikasi blok-blok deposit batu kapur, emas, perak, batubara, tembaga, nikel, timah, seng, antimon, gipsum, hingga besi.

Keenam, investasi otomotif menarik karena kepemilikan kendaraan bermotor masih rendah, sekitar 2,34 juta (Oktober 2011). Itu terdiri atas 1,92 juta motor, 283.460 mobil, 65.373 truk, dan 21.211 bus dengan usia tua.

Ketujuh, sektor telekomunikasi masih terbuka karena densitas telekomunikasi masih 4,28 persen dari total populasi (50,5 juta jiwa) dan pengguna internet baru 500.000.

Kedelapan, sektor logistik menarik untuk dilirik karena Myanmar akan membangun pelabuhan laut bertaraf internasional di Dawei, Provinsi Tanintharyi, dekat dengan Pelabuhan Ulee Lheue di Banda Aceh, Indonesia. Sementara penerbangan pun masih terbatas.

Kesembilan, bisnis perhotelan menjadi sangat menjanjikan karena Myanmar mulai menjadi negara terbuka dengan 221.190 wisatawan asing pada Januari-Agustus 2011. Hingga saat ini hanya ada 691 hotel dengan 23.454 kamar di seluruh Myanmar. Hanya ada empat hotel berbintang empat.

Sektor kesepuluh yang sangat terbuka adalah finansial. Hingga saat ini belum ada satu pun bank asal Indonesia yang membuka cabang operasinya di Myanmar. Dari 16 kantor perwakilan bank asing di negara itu, dua di antaranya bank yang berbasis di Malaysia. Sementara itu, kini beberapa perusahaan asal Indonesia sudah berinvestasi di Myanmar, salah satunya Japfa. Produsen pakan ternak dan makanan hewan olahan ini memimpin pasar.

Hati-hati

Warga Indonesia yang berbisnis di Myanmar selama 15 tahun, Hary Kusuma Aliwarga, menuturkan, kelompok usahanya yang terdiri atas 15 perusahaan sudah dua kali ditutup Pemerintah Myanmar tanpa alasan jelas. Pemasok alat berat, penambang batu mulia, hingga konstruksi ini mengaku bisa bertahan karena setelah ditutup dia membuka kembali perusahaannya dengan nama lain.

Pada beberapa kasus hukum, pengusaha akan sangat sulit mencari jalan keluar. Itu terjadi karena aturan hukum yang melindungi pengusaha belum ada. ”Saya pernah menyumbang 15.000 dollar AS kepada Aung San Suu Kyi melalui lelang. Akibatnya, banyak pihak mempertanyakan sikap saya itu,” tutur Harry.

Hary menyarankan, untuk sementara, investasi terbaik untuk pengusaha Indonesia adalah berdagang dan tidak menanamkan modal pada aset fisik permanen. Investasi besar hanya bisa dilakukan setelah rezim yang berkuasa di Myanmar berganti satu generasi. Itu butuh lima tahun ke depan.

Pemerintah Myanmar tengah menyusun rancangan undang-undang (RUU) penanaman modal asing. Beberapa hal penting dalam RUU itu antara lain investor asing bisa memiliki saham hingga 100 persen. Investor asing juga bisa mendapatkan pembebasan pajak penghasilan untuk lima tahun, terhitung sejak memulai bisnisnya.

Khusus manufaktur, perusahaan bisa memperoleh keringanan pajak hingga 50 persen atas laba yang dihasilkan dari ekspor. Investor asing dapat menyewa lahan dari pemerintah provinsi selama 30 tahun dan dapat diperpanjang hingga 30 tahun lagi.

Pekerjaan tanpa perlu keahlian wajib menggunakan tenaga kerja penduduk setempat, tetapi lima tahun kemudian 25 persen tenaga ahli harus berasal dari Myanmar dan berkembang menjadi 75 persen pada tahun ke-15. Pemerintah juga menjamin, perusahaan asing tidak akan dinasionalisasi selama periode kontrak.

Harus reformasi

Namun, pengusaha keturunan Myanmar, Soe Tun, mengatakan, RUU penanaman modal asing tidak cukup menjamin bisnis berjalan lancar. Ada tujuh isu yang membutuhkan reformasi. Pertama, perbankan. Kedua, kemudahan izin ekspor dan impor. Ketiga, reformasi prosedur kepabeanan. Keempat, pelayanan. Kelima, logistik yang butuh pembaruan. Keenam, modifikasi regulasi. Ketujuh, korupsi.

Saat ini, hanya ada dua bank yang melayani mata uang asing, yakni Myanma Investment and Commercial Bank (MICB) dan Myanma Foreign Trade Bank (MFTB).

Sayangnya, layanan kedua bank sangat buruk. Nasabah harus datang ke bank di setiap transaksi dan membayar tunai. Nasabah harus membayar uang di setiap tahapan dan sangat sulit mendapatkan letter of credit sebagai alat pembayaran ekspor-impor.

”Kami harus mengurus izin setiap kali mengekspor atau impor barang (butuh sebulan). Ongkos transaksi di Myanmar sangat tinggi. Sulit mengakses data valid untuk pemasaran sehingga investor asing harus mencari rekanan lokal jika ingin investasi di Myanmar,” ujar Tun.

Ekonom Universitas Yangon, Kyaw Zaw Naing, dari Naypyidaw, Senin (9/4), mengakui, hambatan utama bagi pengusaha asing masuk ke Myanmar adalah aturan yang berlaku masih hukum lama dan tidak harmonis dengan situasi terkini.

”Prioritas utama dari hasil pemilihan umum sela lalu adalah adanya perubahan struktur legislatif yang lebih berpihak pada perekonomian. Para (pejabat) senior harus mengubah cara berpikir mereka sehingga para yunior dapat mengikuti jalur yang tepat,” ujar Naing.

(Orin Basuki)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com