Demikian benang merah pendapat Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah dan Direktur Eksekutif Kapal Perempuan Misiyah di Jakarta serta aktivis Indonesian Migrant Workers Union (IMWU) Hongkong, Sring Atin, di Hongkong, Selasa (10/4). DPR akan memutuskan nasib rancangan undang-undang pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1990 tentang Perlindungan Buruh Migran dan Keluarga dalam sidang paripurna, Kamis (12/4).
Sring Atin meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melanjutkan proses membangun
Ada sekitar 6 juta TKI di luar negeri, sebagian besar menjadi pekerja rumah tangga (PRT) yang rentan mengalami pelanggaran hak asasi karena lokasi kerja terisolasi. Namun, mereka mampu mengirim remitansi sedikitnya Rp 70 triliun per tahun yang menggerakkan ekonomi di pedesaan dan ekonomi nasional.
Pola perlindungan reaktif menangani masalah TKI kasus per kasus membuat persoalan tak pernah tuntas. Seorang TKI PRT kerap kesulitan melapor atau meminta petugas perwakilan tetap Republik Indonesia menjemput jika mereka bermasalah di tempat kerja.
”Pemerintah sudah menyatakan ratifikasi tanpa reservasi (pengecualian) sehingga seluruh substansi konvensi harus diadopsi dalam kebijakan nasional. Undang-undang perlindungan TKI harus fokus mengatur hak-hak buruh migran dan bagaimana pemerintah menjamin semua tahapan migrasi,” ujar Anis.
Ratifikasi konvensi ini memperjelas kewajiban pemerintah melindungi TKI, tidak boleh dialihkan kepada pihak lain. Inti Konvensi PBB 1990 adalah prinsip-prinsip, hak dasar buruh migran, dan kewajiban negara, baik negara pengirim, transit, maupun penerima.
Anis meminta pemerintah membentuk kelembagaan yang layak sesuai dengan amanat konvensi untuk melindungi TKI
Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Apjati) Rusdi Basalamah mengatakan, pengusaha berharap pemerintah mengatur dengan jelas hak dan tanggung jawab tiap-tiap pihak dalam proses penempatan TKI. Apjati tetap mendukung pemerintah dalam konteks perlindungan hak-hak TKI.