Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Krisis Thailand Selatan

Kompas.com - 04/04/2012, 02:17 WIB

Kedua faktor di atas bukan sekadar simbol individual dan kelompok yang harus mereka pertahankan, melainkan juga sebagai simbol harkat dan martabat mereka sebagai entitas.

Selain itu, Pemerintah Thailand seyogianya juga memberi pengakuan bahwa sistem madrasah dan pesantren adalah bagian integral dari sistem pendidikan Thailand. Pemerintah Thailand terkesan tidak mau mengakui sistem pendidikan madrasah dan pesantren, padahal komunitas ini memberlakukan dan meyakini bahwa sistem pesantren dan madrasah cocok untuk anak-anak mereka.

Bangun infrastruktur

Setelah masalah-masalah nilai ini diakui, Pemerintah Thailand perlu segera membangun infrastruktur di wilayah-wilayah mereka. Pemerintah Thailand perlu mengambil kebijakan afirmatif untuk membangun dalam rangka mengatasi ketertinggalan wilayah-wilayah tersebut. Ketertinggalan inilah yang menjadi pemicu mengapa mereka angkat senjata. Ketertinggalan ini menimbulkan rasa ketidakadilan yang pada gilirannya memberi napas perjuangan untuk melepaskan diri dari Thailand.

Jalan untuk mewujudkan gagasan-gagasan damai ini memang tidak mudah. Masalahnya, dalam tubuh Pemerintah Thailand sekarang ini ada tiga lembaga utama yang secara politis memiliki pengaruh besar dalam setiap keputusan politik Thailand: pihak kerajaan, pemerintahan sipil, dan militer. Hingga kini, ketiganya belum akur untuk menyelesaikan masalah Thailand selatan ini secara damai. Tarik ulur di antara mereka masih sangat alot dan kuat. Pemerintahan sipil belum mampu meyakinkan kalangan militer agar jalan damai menjadi alternatif penyelesaian masalah.

Belum solid

Persoalan di dalam tubuh kaum penuntut kemerdekaan juga tak kalah pelik. Mereka tidak memiliki kepemimpinan yang solid. Dalam diri mereka terdapat empat faksi utama, yaitu Pulo, MPRMP, PRN, dan New Pulo. Keempatnya memiliki kepemimpinan masing-masing dan cenderung bersaing satu sama lain. Tidak ada rantai komando yang memiliki otoritas tunggal dalam mengambil kebijakan atau keputusan.

Situasi di Thailand sekarang ini sama dengan situasi di Moro, Filipina selatan. Setelah Nur Misuari tergusur dari kepemimpinan, tidak ada lagi kepemimpinan yang memiliki otoritas di kalangan pemberontak sebab terlalu banyak grup yang mengklaim diri sebagai pemimpin dan bersaing satu dengan lainnya.

Berbeda dengan penyelesaian Aceh tempo dulu. Aceh memiliki kepemimpinan solid yang jelas dengan sistem komando tunggal, yakni GAM di bawah kepemimpinan Hasan Di Tiro, Malik Machmud, dan Zaini Abdullah. Maka, cukup berunding dengan mereka, masalah bisa diselesaikan. Inilah yang nihil di Thailand sekarang.

Faktor Malaysia juga menjadi hal khusus bagi kalangan pemerintahan Thailand selatan. Ini bisa dimaklumi sebab para penuntut kemerdekaan tersebut adalah kelompok yang mondar-mandir ke Malaysia karena mereka memang dulunya berasal dari Malaysia. Aspek ini, secara politis, amat sensitif bagi Pemerintah Thailand. Terlepas dari kepelikan ini, kita selalu memercayai ucapan seorang raja, 2500 tahun sebelum Masehi: ”Hanyalah damai, bukan konflik, yang bisa menceritakan kita tentang eloknya masa depan.”

Hamid Awaludin Dosen Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Makassar

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com