Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ekonomi Suriah Kian Lemah

Kompas.com - 17/03/2012, 03:42 WIB

Kairo, Kompas - Aksi unjuk rasa antirezim Presiden Bashar al-Assad, di Suriah, Kamis (15/3), genap memasuki usia satu tahun. Protes oposisi telah melemahkan kondisi perekonomian negara. Sanksi ekonomi Liga Arab, Uni Eropa, dan AS terhadap Suriah membuat perekonomian lunglai.

Kurs lira (mata uang Suriah) terhadap dollar AS terus merosot. Nilai satu dollar AS pekan ini mencapai 100 lira. Dua pekan lalu, nilai satu dollar AS sama dengan 75 lira. Tahun lalu, kurs adalah sekitar 40 lira per dollar AS.

Buntunya solusi politik krisis Suriah dan semakin lemahnya bank sentral mempertahankan kurs lira membuat mata uang Suriah itu kembali merosot tajam dalam pekan ini.

Merosotnya nilai mata uang lira hingga lebih dari 50 persen itu tentu diikuti pula dengan meningkatnya inflasi. Barang-barang impor menjadi lebih mahal.

Namun, Pemerintah Suriah saat ini tidak menaikkan gaji pegawai negeri dan swasta untuk mencegah naiknya angka inflasi itu. Hal tersebut semakin membebani hidup kebanyakan penduduk Suriah.

Merosotnya kemampuan Bank Sentral Suriah dalam mengontrol nilai mata uang lira itu disebabkan cadangan devisa Suriah, yang diperkirakan sekitar 17 miliar dollar AS pada pertengahan tahun lalu, kini terus berkurang menjadi hanya setengah miliar dollar AS.

Warga Suriah kini ramai-ramai menggunakan lira untuk membeli barang apa saja. Mereka khawatir kurs lira semakin merosot dalam beberapa hari mendatang sehingga daya belinya merosot.

Para analis menyebutkan, kondisi perekonomian Suriah saat ini merupakan yang terburuk dalam beberapa dekade terakhir. Akibat aksi unjuk rasa oposisi untuk pergantian rezim, sektor pariwisata Suriah terpukul hingga mengalami kerugian 1 miliar dollar AS selama setahun ini.

Arus masuk investasi asing ke negara itu juga berhenti total, khususnya investasi dari negara-negara Arab Teluk yang merambah ke berbagai sektor.

Hubungan Suriah dan negara-negara Arab Teluk (GCC) mengalami keterpurukan dan tergolong paling parah saat ini. Ini diwarnai penutupan kantor-kantor kedubes negara anggota GCC itu di Damaskus.

Sebelumnya, Kementerian Luar Negeri Arab Saudi, Rabu lalu, memutuskan untuk menutup kantor kedutaan besar di Damaskus. Arab Saudi memulangkan semua diplomat dan karyawan di ibu kota Suriah itu.

Hal serupa dilakukan Uni Emirat Arab, Oman, Kuwait, dan Qatar. Bahrain sudah lebih dulu melakukannya.

Aktivitas perdagangan internasional, khususnya dengan negara tetangga seperti Turki, Jordania, dan Lebanon terhenti. Ekspor minyak Suriah praktis macet. Sejak tahun 2005 Suriah memproduksi minyak sekitar 425.000 barrel per hari.

Hal itu membuat sumber penghasilan mata uang asing bagi Suriah menciut, untuk tidak mengatakan terhenti.

Teman tak membantu

Negara-negara yang dikenal pendukung setia Suriah, seperti Rusia, China, dan Iran, tampak tidak siap membantu keuangan rezim Presiden Bashar al-Assad. Rusia dan China membela rezim Presiden Assad lebih disebabkan faktor persaingan pamor politik dengan Barat di kancah internasional, bukan karena faktor ekonomi.

Rusia dan China juga sudah mulai mengubah tonasi terhadap Suriah. Walau tak menyukai intervensi Barat, Suriah diminta berubah. Iran sendiri juga menghadapi sanksi ekonomi dari Barat akibat program nuklir sehingga tidak mampu mengucurkan bantuan ke Suriah.

Kini banyak warga Suriah terpaksa mengungsi ke negara tetangga, seperti Turki, Lebanon, dan Jordania, akibat aksi kekerasan dan kondisi ekonomi yang terus memburuk.

Kondisi yang saat ini masih bisa menolong rezim Presiden Assad adalah karakter perekonomian Suriah yang banyak mengandalkan produk dalam negeri.

Akan tetapi, terus meningkatnya sanksi internasional terhadap Suriah tetap melemahkan sendi-sendi produksi di negara itu. Ini antara lain terjadi akibat anjloknya kurs lira. Dikhawatirkan kekacauan ekonomi akan membuat rezim Presiden Assad kehilangan kontrol.

Jika tidak segera dicapai solusi politik, maka cepat atau lambat akan meledak pula kemarahan sosial yang dahsyat akibat tekanan ekonomi itu. Seperti diketahui, aksi unjuk rasa di Suriah merupakan yang terlama dibanding dengan yang pernah terjadi di negara-negara Arab lainnya seperti Tunisia, Mesir, Libya, dan Yaman. (mth)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com