Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pembawa Budak Pertama di Dunia

Kompas.com - 15/03/2012, 09:41 WIB

WALAUPUN orang Belanda tidak suka mengingat-ingat peran mereka dalam sejarah perbudakan dunia, hal itu muncul setiap tahun ketika Sinterklas datang ke Belanda untuk merayakan ulang tahunnya. Lelaki tua idaman anak-anak Belanda itu datang dari Spanyol dengan sepasukan lelaki hitam berbibir tebal, berambut keriting dengan pakaian warna-warni menyolok: Si Piet Hitam.

Buku sejarah Amerika Serikat menuding orang Belanda sebagai pembawa budak-budak pertama ke negara itu. Dalam buku hariannya, John Rolfe yang tinggal di Jamestown, mencatat bahwa pada tahun 1619, sebuah kapal Belanda datang membawa 20 orang berkulit hitam ke kotanya. Para pakar menduga bahwa kapal Belanda yang mengangkut budak-budak dari Afrika itu adalah kapal Trier milik perompak dari Vlissingen.

Kapal Trier dan sebuah kapal perompak dari Inggris bersama-sama merampok kapal Portugis yang membawa budak-budak dari Angola menuju Amerika Selatan. Kapal-kapal Inggris dan Belanda itu berlomba-lomba menuju benua Amerika. Angin kencang dan nasib baik membuat kapal Trier lebih dulu sampai. Sejak itulah, orang Belanda tercatat dalam sejarah sebagai orang yang memperkenalkan budak di Amerika.

Piagam tertua yang memuat aturan mengenai perbudakan adalah Kode Ur-Nammu dari Sumeria. Piagam batu itu berasal dari sekitar masa 2100 Sebelum Masehi. Piagam lain, Kode Hammurabi dari tahun 1760 Sebelum Masehi, mengancam hukuman mati bagi siapa pun yang membantu seorang budak melarikan diri. Aturan-aturan yang mengatur perbudakan dalam kedua piagam itu (dan juga piagam-piagam dari daerah lain) menunjukkan bahwa di tempat-tempat itu, perbudakan bukanlah hal yang baru, melainkan sudah menjadi pranata sosial dan budaya di tempat masing-masing. Bagaimana dengan perbudakan di nusantara?

Di zaman dulu, dalam banyak kebudayaan di Indonesia, budak dikenal dan menduduki lapisan terendah dalam masyarakat. Orang menjadi budak karena ditawan setelah kalah perang atau karena tak dapat membayar hutang-piutangnya. Bila seseorang menjadi budak, ia sebetulnya dianggap sebagai semacam barang yang dapat diperjual-belikan, dihadiahkan dan diwariskan.

Orang Portugis yang sudah lebih dulu hadir di nusantara tanpa ragu `memperisteri' perempuan-perempuan local dan budak-budak mereka. Karena itu, di daerah-daerah jajahan Portugis dikenal adanya penduduk berdarah campuran Portugis dan masyarakat setempat yang dikenal dengan istilah mestizo. Ketika Belanda mulai berkiprah di nusantara, mereka menemui masyarakat campuran dan heterogen di Kepulauan Maluku karena di daerah ini pun orang Portugis `memperisteri' perempuan setempat (lihat U Bosma dan R Raben. `Being "Dutch" in the Indies: A History of Creolisation and Empire, 1500-1920'. Singapore. 2008).

Di Batavia, keadaannya agak lain. Penduduk di dalam benteng kota itu terdiri dari penduduk Eropa, terutama lelaki yang bekerja untuk VOC dan para serdadu yang tidak diizinkan menikah serta para budak. Hampir separuh penduduk Batavia merupakan budak yang dimiliki dan dipekerjakan oleh bule-bule itu!

frieda.amran@yahoo.com (anggota Asosiasi Antropologi Indonesia)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com