JAKARTA, KOMPAS.com — Jika Pemerintah Indonesia memaksakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), maka risiko sistematis seperti yang dialami warga Fukushima, Jepang, sejak gempa terjadi 11 Maret 2011. Pemerintah didesak untuk berkonsentrasi pada pembangunan pemanfaatan energi terbarukan yang masih minim digali.
Hal ini mengemuka dalam diskusi dan peluncuran laporan "Pelajaran dari Fukushima" oleh Greenpeace, Kamis (8/3/2012), di Jakarta, yang menghadirkan Sony Keraf (mantan Menteri Lingkungan Hidup), juru kampanye Greenpeace Afif Fiyanto, dan Deputi Walhi Ali Akbar.
Dalam laporan itu, Greenpeace ingin memperlihatkan fakta bencana akibat buatan manusia ini bisa terulang di PLTN manapun di dunia. Laporan ini melibatkan ahli fisika nuklir Perancis David Boilley, insinyur nuklir Arnie Gundersen, dan Ahli David McNeill.
Afif mengatakan, Jepang yang merupakan negara maju dalam penguasaan teknologi nuklir dan rencana penanganan bencana andal masih keteteran dan gagal dalam mengantisipasi dampak bencana nuklir Fukushima.
"Kita tidak bisa bayangkan apa yang akan terjadi di Indonesia jika pemerintah tetap bersikeras membangun PLTN di negeri rawan bencana dan rentan korupsi ini," tuturnya.
Reaktor PLTN Fukushima Daiichi mengalami kebocoran akibat gempa yang melanda pesisir timur Jepang pada 11 Maret 2011. Akibatnya, ratusan ribu penduduk yang berada dalam radius 20 kilometer dari PLTN Fukushima diungsikan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.