Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Harga Susu Indonesia Paling Rendah di Asia Tenggara

Kompas.com - 08/03/2012, 10:53 WIB
Gregorius Magnus Finesso

Penulis

BANYUMAS, KOMPAS.com — Harga susu sapi di Indonesia adalah yang paling rendah se-Asia Tenggara, merujuk pada data International Farm Comparison Network, sebuah lembaga riset persusuan internasional. Kondisi ini dinilai sudah tidak wajar dan membebani peternak sapi perah.

"Harga susu sapi di Indonesia sudah tertinggal oleh sejumlah negara yang sebenarnya baru memulai industri persusuan. Hal ini ironis, sebab lama-kelamaan bukan tidak mungkin akan semakin banyak peternak yang menjual sapi perahnya karena tidak menguntungkan lagi," tutur Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Jawa Tengah, Bambang Web, Kamis (8/3/2012), di Banyumas.

Sebagai perbandingan, satu liter susu segar di Thailand sekitar Rp 4.370, Vietnam Rp 4.200, Filipina Rp 5.022, dan Malaysia Rp 5.400.

Menurut Bambang Wiyogo (40), peternak sapi perah di Desa Tumiyang, Kecamatan Pekuncen, Banyumas, harga jual susu di tingkat peternak ke koperasi berkisar Rp 2.900 - Rp 3.100 per liter bergantung pada kualitas. Setelah ditambah biaya perlakuan (handling cost), harga jual dari koperasi ke industri pengolahan susu berkisar Rp 3.500 - Rp 3.900 per liter.

Selain rendahnya harga susu, menurut Bambang, pemerintah juga tidak serius membantu peternak untuk menambah jumlah ternaknya melalui skema bantuan kredit. Hingga kini, program Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) dinilai masih tidak menyentuh peternak.

Menurut Direktur Pembibitan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Abubakar, sejak diluncurkan tahun 2009 hingga awal 2012, dari total anggaran tersedia sebesar Rp 3,8 triliun, penyerapan KUPS baru mencapai Rp 411 miliar atau sekitar 10,56 persen.

"Kami akui masih ada kekurangan dalam aturan, baik di sisi pemerintah maupun perbankan. Ini yang akan diperbaiki terutama melalui peraturan menteri pertanian terkait KUPS yang ditargetkan dapat selesai akhir bulan ini," ungkapnya.

Selama ini, besaran pagu indikatif KUPS yang tercantum, yakni Rp 55 miliar untuk 5.000 ekor sapi. Artinya, satu ekor sapi dihargai sekitar Rp 10 juta.

Hal ini yang banyak dikeluhkan kelompok peternak maupun koperasi, karena harga bibit sapi perah, terutama jenis impor saat ini berkisar Rp 20 juta-Rp 25 juta per ekor. Untuk itu, pada aturan baru nanti, pagu indikatif KUPS dipatok maksimal Rp 72 miliar tanpa mencantumkan jumlah ekornya.

Selain itu, kendala penyerapan KUPS lainnya selama ini terkait pencatatan agunan. Sejauh ini, bank penyalur tetap mensyaratkan debitur menyertakan agunan berupa sertifikat tanah. Terkait ini, Kementerian Pertanian sedang berjuang supaya hewan dan lahan milik peternak dapat dicatat sebagai agunan.

"Masih ada keraguan dari pihak bank untuk mencatatkan ternak sebagai agunan. Untuk mengatasi persoalan ini, lembaga penjamin kredit di daerah semestinya bisa lebih berperan," kata Abubakar.

Kementerian Pertanian akan menyurati seluruh gubernur agar menginstrusikan Bank Pembangunan Daerah (BPD) di wilayahnya menjalin kerja sama dengan Kementerian Keuangan terkait pembiayaan KUPS. Dengan demikian, dana dari pusat dapat disalurkan ke BPD dan dapat diteruskan kepada para peternak yang akan membibitkan sapi.

Sejauh ini, baru tujuh BPD yang sudah menyalurkan KUPS, yakni Bank Jateng, Bank Jatim, Bank DIY, Bank Sumut, Bank Nagari, Bank Bali, dan Bank NTB. "Peran BPD dalam KUPS harus lebih besar karena ini untuk kesejahteraan masyarakat di wilayah mereka sendiri," jelas Abubakar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com